Selasa, 14 Juli 2009

Sekolah Vokasi : Apa Sebenarnya yang Diinginkan oleh UGM?

Sekolah Pengganti Program Diploma

Sekolah Vokasi adalah Lembaga Pendidikan Diploma sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) UGM yang merupakan pelaksana akademik sederajat dengan politeknik yang menyelenggarakan Program Pendidikan Vokasi dan/atau Pendidikan Profesi mencakup Program Diploma pada jenjang D1, D2, D3 dan D4 yang bersifat terminal[1].

Maksudnya bersifat terminal? Bahwa sekolah ini didesain bukan untuk melanjutkan ke jenjang S1. Dengan bersifat terminal artinya pendidikan yang ditawarkan berakhir pada jenjang yang bersangkutan, misalnya mahasiswa D3 di UGM hanya akan mendapatkan ijazah D3 saja di UGM, tidak diperkenankan sampai pada tingkat Diploma sebagaimana tujuan Sekolah Vokasi, menciptakan Ahli Madya yang handal.

Tujuan ini tidak begitu saja diterima oleh mahasiswa Program Diploma. Mereka pun tentunya memiliki tujuan masing-masing untuk “masa depannya” sehingga kebanyakan dari mereka menentang eksistensi Sekolah Vokasi. Sifatnya yang terminal menutup kesempatan mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Padahal, sebelumnya sebagian besar dari mereka berpikir bahwa menjadi alumnus Diploma-nya dapat mempermudah proses masuk Program Sarjana UGM.

Proses (Panjang) Pembentukan Sekolah Vokasi

Sepertinya, pencanangan UGM sebagai perguruan tinggi riset yang bertaraf internasional mengilhami pembentukan Sekolah Vokasi ini. Hampir seluruh perguruan tinggi bertaraf internasional di luar negeri memisahkan program berbasis keterampilan (Program Diploma) dengan Program Reguler universitas dan berkaitan hal tersebut, sebagai perguruan tinggi yang (katanya) menganut konsep universal maka UGM mencoba menerapkan sistem yang sejenis.

Pelaksanaan Program Swadaya yang di beberapa sisi dinilai gagal menghasilkan output berkualitas turut mempengaruhi percepatan pembukaan sekolah ini. Program Sarjana Reguler dan Swadaya yang tercampur sedemikian rupa kabarnya mengakibatkan peringkat UGM turun secara perlahan dalam penilaian kualitas pendidikan perguruan tinggi di kancah internasional. Oleh karena itu, penutupan S1 Swadaya dilaksanakan sesegera mungkin agar rangking UGM sebagai perguruan tinggi bertaraf internasional tidak terus menerus turun. Kemudian, langkah ini didukung dengan pembukaan Sekolah Vokasi yang bersifat terminal, yang mahasiswanya tidak perlu (baca:tidak dapat) melanjutkan pendidikannya ke jenjang S1.

Rencana lain untuk Program Diploma ini (katanya) direncanakan secara matang, meskipun hingga saat ini masih terkendala banyak hal. Aspek yang paling krusial terkait dengan pemisahaan pengelolaan ini terutama di bidang Sumber Daya Manusia yang ter-desentralisasikan, terutama SDM administrasi dan tenaga pengajar (baca:dosen) mayoritas berasal dari fakultas.

Meskipun pendaftarannya sudah dibuka untuk calon peserta didik, hingga saat ini belum dibentuk tim pengelola yang permanen untuk Sekolah Vokasi secara khusus. Demikian pula dengan ‘gedungnya’ yang sampai saat ini lokasinya pun belum ditentukan dan untuk hal ini kemungkinan besar aktivitas kuliahnya masih akan mengunakan fasilitas yang ada di fakultas. Dan dimanakah sisi kematangan perencanaan Sekolah Vokasi UGM?

Problematika Sekolah Vokasi

Kenyataannya, menciptakan Ahli Madya yang handal bukan satu-satunya tujuan pembentukan Sekolah Vokasi. Ada banyak pendapat tentang diberlangsungkannya pembukaan sekolah yang bersifat terminal ini. Berbagai pro dan kontra mengalir diantaranya. Ada yang setuju dan tidak sedikit pula yang menolak mentah-mentah eksistensi sekolah ini, yang dinilai dapat mematikan kesempatan anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi. Maksud UGM mendirikan Sekolah yang cukup menuai kontra di kalangan mahasiswa Diploma 3 ini menjadi dipertanyakan. Apalagi, belakangan ini berhembus kabar bahwa pembentukan Sekolah Vokasi merupakan implikasi nyata status Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang disandang UGM. Kabar tersebut bersesuaian dengan ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 bahwa status BHP-nya membenarkan UGM menempuh cara tertentu untuk mendapatkan dana operasionalnya, termasuk dengan mendirikan ‘cabang pendidikan’ atau program perkuliahan baru seperti Sekolah Vokasi contohnya.

Pencanangan UGM sebagai perguruan tinggi riset internasional dan motif ekonomi menjadi dasar pertimbangan dipercepatnya pembukaan sekolah yang akan dikelola terpisah dari manajemen fakultas ini. Aspek psikologis mahasiswa maupun calon mahasiswa Program Diploma tidak lagi menjadi sesuatu yang dikhawatirkan (karena memang sejak awal UGM tidak mengkhawatirkan mereka). Percaya atau tidak, penolakan mahasiswa terhadap pembentukan Sekolah Vokasi diabaikan. Penggunaan nama besar UGM dijadikan daya tarik sempurna untuk mendapatkan calon tenaga kerja siap pakai untuk menghadapi globalisasi yang menghadang. Rumor mengenai komersialisasi sekolah yang menghentikan langkah mahasiswa Program Diploma untuk meraih pendidikan di jenjang yang lebih tinggi di Universitas Kerakyatan kita ini menjadi santer terdengar. Komersialisasi? Bisa dikatakan demikian saat UGM sebagai institusi pendidikan tinggi hanya fokus pada tujuan menciptakan Ahli Madya yang handal dengan Sekolah Vokasi-nya yang bersifat terminal, yang membatasi kesempatan mendapatkan Pendidikan Sarjana. Dengan demikian, seolah-olah UGM bermaksud mengikuti perkembangan liberalisasi pendidikan demi memenuhi tuntutan pasar global, menciptakan mesin-mesin pekerja dan mendapatkan ‘imbalan’ atas upaya penciptaannya tersebut, serta mengabaikan esensi utama dari tujuan suatu institusi pendidikan yang mulia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.(***)



[1] sebagaimana yang tertera di website UGM

1 komentar:

  1. Bonuses - How to get casino bonuses and promotions to get
    No matter 벳 365 코리아 우회 how attractive your casino odds are, you can still 강원 랜드 슬롯 머신 play the best 룰렛 배팅 games seda bet at the casino for free, whether you play or 커뮤니티사이트 not. Free Casino Bonuses

    BalasHapus