Selasa, 14 Juli 2009

KETIKA SADAR, OTAK ANAK DI RAHIM MEDIA

Media dapat dikatakan sebagai mata dan telinga masyarakat dalam menangkap fenomena sosial yang terjadi dilingkungan sekitar nya, sehingga tidak menjadi berlebihan ketika eksistensi media dapat dikatakan mampu membentuk pola pikir para penikmatnya. Media adalah salah satu unsur pokok penting dalam dinamika sosial. Media memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi yang kemudian dibuktikan oleh sebuah penelitian bahwa persepsi mempengaruhi sikap (attitude) dan perilaku seseorang. Kognisi tersebut dapat menimbulkan sikap melalui suatu proses yang dikenal dengan istilah classical conditioning, proses dimana beberapa stimulus yang bersifat netral atau tidak mempunyai efek untuk memicu repon positif maupun negatif. Singkatnya, mutu suatu bangsa tidak akan pernah lepas dari peran media pada dasarnya.

Membahas mengenai media sebagai salah satu parameter pengungkur pola pikir dan mutu suatu bangsa, maka akan sangat relevan ketika kita menyandingkan isu tentang peran media dengan pembentukan pola pikir dan pola perilaku anak, dimana anak untuk saat ini berada di tengah kondisi dengan akses informasi yang sangat terbuka namun kondisinya anak sebagai individu belum memiliki kemampuan atau kecakapan dalam memberi penilaian yang tepat akan suatu informasi yang mereka dapat.

Indonesia telah memiliki UU nomor 23 tahun 2002 yang mengatur tentang perlindungan anak, didalam nya menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan. Hak Anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Perlu diingat, hak-hak anak yang melekat dalam diri setiap anak juga merupakam bagian dari hak asasi manusia. Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam piagam PBB, hak-hak anak merupakan pengakuan atas martabat, yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut. Anak-anak pun memperoleh hak untuk hidup, memperoleh pendidikan, kesehatan, perlindungan dan hak untuk menyatakan pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, hal ini juga diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 22 pasal (3).

Idealnya, anak-anak disuguhkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan yang sesuai dengan umur dan pola pikirnya. Namun kenyataannya saat ini, anak-anak tidak disuguhkan sajian informasi yang tepat dengan pola perkembangan pikirannya. Dari hasil pemantauan Depatemen Komunikasi dan Informatika Januari–Maret 2007, menyatakan bahwa tendensi isi tayangan cenderung mengeksploitasi kekerasan terhadap anak-anak dan dapat menyebabkan anak menjadi pribadi yang destruktif.

Anak-anak telah dimanjakan oleh berbagai akses informasi yang dapat menyebabkan mereka konsumtif, pasif, dan perkembangan psikologis mereka yang tidak tepat pada waktu nya. Walau tak dapat dipungkiri bahwa media mempunyai dampak cukup banyak dampak positif terkait dengan penyajian informasi yang mampu memperluas wawasan anak, membuka fikiran akan suatu hal, memperluas pergaulan, mendorong rasa ingin tahu mereka agar mereka menjadi kritis, serta mempermudah komunikasi, dapat membuat mereka memanfaatkan perkembangan teknologi.

Dengan melihat pertimbangan baik buruknya media dalam kehidupan anak, maka tidak tepat ketika kita memberikan semacan justifikasi atau katakanlah menyalahkan hanya pada satu variabel diatas; anak atau media. Namun hal yang harus dicermati disini adalah bagaimana media yang memainkan peran penting dalam upaya pencegahan perlakuan salah terhadap anak dapat menyajikan informasi ataupun program yang lebih bertanggung jawab dengan artian tidak menonjolkan sisi sensasionalitas semata, tetapi bersifat mendidik untuk upaya promotif dan preventif. Misalnya, mengajak masyarakat melakukan dekulturisasi budaya diterimanya kekerasan di masyarakat, sosialisasi ancaman pidana dan denda untuk menumbuhkan efek jera (deterrence) di masyarakat, menjelaskan cara-cara tanpa kekerasan untuk menyelesaikan masalah, mendidik masyarakat mengenai besarnya dampak kekerasan pada anak bagi tumbuh kembang anak, menyuarakan upaya-upaya alternatif yang perlu diambil pemerintah dalam memerangi kekerasan pada anak.

Terkait dengan hal diatas maka pertanyaan yang timbul berikutnya adalah; apakah regulasi nasional yang kita miliki sudah cukup mengakomodasi hal tersebut? Maka baiknya kita menilik Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Dalam undang-undang ini, disebutkan Dalam bab II pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa, penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol, dan perekat sosial. Hal yang perlu dicermati disini adalah kata ‘hiburan yang sehat’ bahwa fungsi entertain harus disajikan pada porsi yang tepat dimana muatan hiburan tidak serta merta mengenyampingkan nilai edukasi ataupun nilai moral yang harus disampaikan.

Terkait dengan peran media dalam membentuk pola perilaku anak, bahwa harus diperhitungkan juga peran media sebagai penegak hak-hak anak. Dimana media harus mampu membentuk opini publik atas hal-hal yang terkait dengan kebutuhan anak ataupun sarana advokasi melindungi hak-hak anak. Sedikit menyinggung mengenai Konvensi Hak Anak atau disingkat dengan KHA, bahwa hak-hak anak dijamin oleh sebuah konvensi yang dinamakan Konvensi Hak Anak (KHA). KHA adalah perjanjian antarbangsa mengenai hak-hak anak. Konvensi atau kovenan adalah kata lain dari treaty (traktat, pakta) yang merupakan perjanjian di antara beberapa negara. Perjanjian ini bersifat mengikat secara yuridis dan politis. Jadi artinya, semua negara yang ikut menandatangani KHA harus mengakui dan memenuhi hak-hak anak.

Ada empat prinsip yang terkandung dalam KHA yang penting untuk dicermati antara lain: Non Diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, dan yang terakhir adalah penghargaan terhadap partisipasi anak. Bahwa anak harus dipandang sama tanpa harus melihat latar belakang yang berbeda terkait ras, etnis ataupun agama. Kepentingan yang terbaik bagi anak dijalankan oleh lembaga-lembaga sosial dan dijadikan prioritas utama. Setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan dan negara wajib menjamin kelangsungan hidup serta perkembangan anak sampai batas maksimal. Dan adanya penghargaan atas pandangan dan menyatakan pendapatnya sesuai dengan tingkat kematangan si anak.

Memahami tentang korelasi yang kuat antara media dan pembentukan prilaku anak maka satu variabel yang tidak dapat dikesampingkan adalah peran orang tua. Orang tua menduduki posisi krusial dalam pembentukan ‘hubungan’ media dan anak. Ketika pada tulisan sebelumnya kita sepakat bahwa anak merupakan individu yang belum memiliki kemampuan untuk memfilterisasi informasi yang bermobilitas tinggi disekitarnya, maka hal ini menjadi perang orang tua untuk menjadi filter bagi informasi yang akan mereka dapatkan. Tidak hanya sebagai filter penulis fikir, namun orang tua harus mampu memposisikan dirinya sebagai tempat dimana anak bisa bertanya akan suatu hal yang belum diketahui sang anak, atau dalam konteks aktif, orang tua memberikan penjelasan-penjelasan mengenai hal-hal yang dilihat dan didengar oleh si anak lewat media, tanpa menunggu pertanyaan muncul dari mulut si anak.

Ideal nya memang seperti itu, namun lagi-lagi terbentur dengan realita yang telah membentuk budaya yang berbeda dari harapan. Dimana orang tua lebih banyak menghabiskan waktu nya untuk bekerja. Tidak salah memang, di zaman yang memiliki intensitas persaingan yang tinggi layaknya saat ini memang dibutuhkan ketangguhan dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun bukan berarti mengenyampingkan kebutuhan anak yang notabene nya; mereka adalah penerus pelaku dinamika ini. Anak merupakan masa depan dan penerus bangsa sehingga anak harus lebih mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan hak-haknya.

Banyak hal dan akan banyak pihak yang akan menjadi ‘bertanggungjawab’ atas masalah ini. Media, orang tua, pemerintah dan anak itu sendiri. Langkah-langkah yang telah ditempuh seperti segmentasi penonton akan suatu program dengan penayangan simbol-simbol seperti BO, D, dan SU disetiap program adalah bentuk itikad baik akan kesadaran seluruh pihak akan pentingnya ‘porsi yang pas’ dalam penyajian informasi disetiap kalangan umur. Namun akan lebih efektif ketika itikad baik ini disambut oleh masyarakat untuk benar-benar menghidupkan itikad baik ini sehingga tidak menjadi suatu langkah yang pada akhirnya tidak pernah sampai pada tujuan yang ingin dituju.

Sekolah Vokasi : Apa Sebenarnya yang Diinginkan oleh UGM?

Sekolah Pengganti Program Diploma

Sekolah Vokasi adalah Lembaga Pendidikan Diploma sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) UGM yang merupakan pelaksana akademik sederajat dengan politeknik yang menyelenggarakan Program Pendidikan Vokasi dan/atau Pendidikan Profesi mencakup Program Diploma pada jenjang D1, D2, D3 dan D4 yang bersifat terminal[1].

Maksudnya bersifat terminal? Bahwa sekolah ini didesain bukan untuk melanjutkan ke jenjang S1. Dengan bersifat terminal artinya pendidikan yang ditawarkan berakhir pada jenjang yang bersangkutan, misalnya mahasiswa D3 di UGM hanya akan mendapatkan ijazah D3 saja di UGM, tidak diperkenankan sampai pada tingkat Diploma sebagaimana tujuan Sekolah Vokasi, menciptakan Ahli Madya yang handal.

Tujuan ini tidak begitu saja diterima oleh mahasiswa Program Diploma. Mereka pun tentunya memiliki tujuan masing-masing untuk “masa depannya” sehingga kebanyakan dari mereka menentang eksistensi Sekolah Vokasi. Sifatnya yang terminal menutup kesempatan mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Padahal, sebelumnya sebagian besar dari mereka berpikir bahwa menjadi alumnus Diploma-nya dapat mempermudah proses masuk Program Sarjana UGM.

Proses (Panjang) Pembentukan Sekolah Vokasi

Sepertinya, pencanangan UGM sebagai perguruan tinggi riset yang bertaraf internasional mengilhami pembentukan Sekolah Vokasi ini. Hampir seluruh perguruan tinggi bertaraf internasional di luar negeri memisahkan program berbasis keterampilan (Program Diploma) dengan Program Reguler universitas dan berkaitan hal tersebut, sebagai perguruan tinggi yang (katanya) menganut konsep universal maka UGM mencoba menerapkan sistem yang sejenis.

Pelaksanaan Program Swadaya yang di beberapa sisi dinilai gagal menghasilkan output berkualitas turut mempengaruhi percepatan pembukaan sekolah ini. Program Sarjana Reguler dan Swadaya yang tercampur sedemikian rupa kabarnya mengakibatkan peringkat UGM turun secara perlahan dalam penilaian kualitas pendidikan perguruan tinggi di kancah internasional. Oleh karena itu, penutupan S1 Swadaya dilaksanakan sesegera mungkin agar rangking UGM sebagai perguruan tinggi bertaraf internasional tidak terus menerus turun. Kemudian, langkah ini didukung dengan pembukaan Sekolah Vokasi yang bersifat terminal, yang mahasiswanya tidak perlu (baca:tidak dapat) melanjutkan pendidikannya ke jenjang S1.

Rencana lain untuk Program Diploma ini (katanya) direncanakan secara matang, meskipun hingga saat ini masih terkendala banyak hal. Aspek yang paling krusial terkait dengan pemisahaan pengelolaan ini terutama di bidang Sumber Daya Manusia yang ter-desentralisasikan, terutama SDM administrasi dan tenaga pengajar (baca:dosen) mayoritas berasal dari fakultas.

Meskipun pendaftarannya sudah dibuka untuk calon peserta didik, hingga saat ini belum dibentuk tim pengelola yang permanen untuk Sekolah Vokasi secara khusus. Demikian pula dengan ‘gedungnya’ yang sampai saat ini lokasinya pun belum ditentukan dan untuk hal ini kemungkinan besar aktivitas kuliahnya masih akan mengunakan fasilitas yang ada di fakultas. Dan dimanakah sisi kematangan perencanaan Sekolah Vokasi UGM?

Problematika Sekolah Vokasi

Kenyataannya, menciptakan Ahli Madya yang handal bukan satu-satunya tujuan pembentukan Sekolah Vokasi. Ada banyak pendapat tentang diberlangsungkannya pembukaan sekolah yang bersifat terminal ini. Berbagai pro dan kontra mengalir diantaranya. Ada yang setuju dan tidak sedikit pula yang menolak mentah-mentah eksistensi sekolah ini, yang dinilai dapat mematikan kesempatan anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi. Maksud UGM mendirikan Sekolah yang cukup menuai kontra di kalangan mahasiswa Diploma 3 ini menjadi dipertanyakan. Apalagi, belakangan ini berhembus kabar bahwa pembentukan Sekolah Vokasi merupakan implikasi nyata status Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang disandang UGM. Kabar tersebut bersesuaian dengan ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 bahwa status BHP-nya membenarkan UGM menempuh cara tertentu untuk mendapatkan dana operasionalnya, termasuk dengan mendirikan ‘cabang pendidikan’ atau program perkuliahan baru seperti Sekolah Vokasi contohnya.

Pencanangan UGM sebagai perguruan tinggi riset internasional dan motif ekonomi menjadi dasar pertimbangan dipercepatnya pembukaan sekolah yang akan dikelola terpisah dari manajemen fakultas ini. Aspek psikologis mahasiswa maupun calon mahasiswa Program Diploma tidak lagi menjadi sesuatu yang dikhawatirkan (karena memang sejak awal UGM tidak mengkhawatirkan mereka). Percaya atau tidak, penolakan mahasiswa terhadap pembentukan Sekolah Vokasi diabaikan. Penggunaan nama besar UGM dijadikan daya tarik sempurna untuk mendapatkan calon tenaga kerja siap pakai untuk menghadapi globalisasi yang menghadang. Rumor mengenai komersialisasi sekolah yang menghentikan langkah mahasiswa Program Diploma untuk meraih pendidikan di jenjang yang lebih tinggi di Universitas Kerakyatan kita ini menjadi santer terdengar. Komersialisasi? Bisa dikatakan demikian saat UGM sebagai institusi pendidikan tinggi hanya fokus pada tujuan menciptakan Ahli Madya yang handal dengan Sekolah Vokasi-nya yang bersifat terminal, yang membatasi kesempatan mendapatkan Pendidikan Sarjana. Dengan demikian, seolah-olah UGM bermaksud mengikuti perkembangan liberalisasi pendidikan demi memenuhi tuntutan pasar global, menciptakan mesin-mesin pekerja dan mendapatkan ‘imbalan’ atas upaya penciptaannya tersebut, serta mengabaikan esensi utama dari tujuan suatu institusi pendidikan yang mulia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.(***)



[1] sebagaimana yang tertera di website UGM

RESENSI

Menggantikan Peran Negara

Judul : SOKOLA RIMBA

Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba

Penulis : Butet Manurung

Penerbit : INSISTPress

Jumlah halaman : (xvi + 250) halaman

Cetakan : Keempat , Oktober 2008

Peresensi : Ahmad Romi Royadi

Pendidikan merupakan salah satu kewajiban negara sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 28C ayat 1 bahwa : setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,... sehingga negara bertanggung jawab memenuhi hak warga negaranya terhadap pelayanan pendidikan di manapun dia berada. Namun dalam kenyataanya, banyak wilayah di Indonesia yang belum tersentuh oleh akses pendidikan, khususnya di lingkungan orang rimba seperti di kawasan taman nasional Bukit Duabelas. Banyak hal yang melatarbelakangi kondisi ini, baik faktor internal maupun eksternal. Dari faktor internal, kondisi sosial budaya orang rimba sendiri memang sulit dimasuki budaya luar. Kemudian dari faktor eksternal, tangan negara seolah tak sampai menjangkau masyarakat rimba di kawasan taman nasional Bukit Duabelas, entah karena apa. Fakta-fakta tersebutlah yang melatarbelakangi Butet Manurung memberikan pendidikan bagi orang rimba.

Tak seperti seorang sarjana pada umumnya, Butet Manurung seorang sarjana antropologi dan sastra Indonesia UNPAD, setelah menyelesaikan masa studynya memutuskan untuk masuk rimba. Dengan latar belakang sebagai mahasiswa pecinta alam saat masih di kampus, Butet mengambil keputusan untuk masuk rimba demi memberikan pendidikan kepada orang rimba. Harapannya tidak muluk-muluk, hanya ingin memberikan pelajaran membaca dan berhitung sehingga mereka mampu untuk memperjuangkan hak-haknya.

Butet mengawali perjalanannya ke rimba pada tahun 1999 dengan bergabung sebagai fasilitator pendidikan dalam Komunitas Konservasi Indonesia WARSI (KKI WARSI). Dengan bergabung dengan WARSI, Butet memperoleh akses masuk ke hutan di kawasan bukit Duabelas, berinteraksi dengan berbagai kelompok orang rimba yang letaknya harus ditempuh dengan berjam-jam jalan kaki. Dengan posisi sebagai fasilitator pendidikan orang rimba, Butet mengajarkan kepada anak rimba membaca, menulis dan berhitung. Proses pendidikan pun tidak seperti yang umumnya terjadi pada sekolah di luar rimba namun harus disesuaikan dengan kondisi budaya orang rimba seperti ketika proses belajar tiba-tiba berhenti karena ada tupai jatuh dari pohon sehingga secara spontan para anak orang rimba berlari mengejar tupai itu, ataupun berkaitan dengan kondisi Sokola Rimba yang secara fisik nampak seperti gubuk bukan sekolah.

SOKOLA RIMBA, sebuah buku yang didasarkan pada catatan harian Butet ini seakan menarik kita ke dalam rimba dengan berbagai kondisi yang menghalanginya di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas,seperti risiko terserang penyakit, digigit pacet, tersesat di tengah rimba maupun ditolak oleh komunitas masyarakat rimba setempat.. Namun hal itu tidak menghalangi niat Butet untuk terus memperjuangkan cita-citanya. Dari keberhasilan mendirikan Sokola Rimba di Riau telah menginspirasi Butet dan rekan-rekannya untuk mendirikan SOKOLA yang serupa atau sekolah-sekolah alternatif lain untuk beberapa suku terbelakang yang tersebar di berbagai daerah, seperti Makassar , Flores Timur, dan Nanggroe Aceh Darussalam.

Dalam hal ini, kita hendaknya belajar memandang persoalan sesuai konteksnya bukan melulu dari sudut pandang kita. Seperti orang rimba, mereka selalu merasa tertikam dan tersakiti benaknya ketika menerima bantuan. Kelihatannya bantuan itu heroik tetapi bagi orang rimba hal itu sama saja seperti menerima ejekan; mereka merasa diejek ketelanjangannya ketika menerima bantuan pakaian, mereka pun merasa dianggap miskin dan pimitif ketika menerima bantuan rumah. Seolah-olah orang rimba akan sakit dan merasa kedinginan, sakit gara-gara tidak memakai baju dan tinggal di dalam rumah dengan empat dinding. Padahal rumah yang nyaman bagi orang rimba adalah ketika tidur terhembus semilir angin yang membelai-belai wajah serta gemersik dedaunan yang menjadi lagu merdu pengantar tidur. Rumah itu adalah hutannnya, tempat segalanya bagi orang rimba. Jadi, ayo cobalah berpikir seperti mereka!. Ungkap Butet.(***)

HAK ANAK DALAM KONVENSI ILO 182

Koord : WIWIN ISTANTI

Anggota : MARINA H.HARIS

Anak sebagai kelompok usia istimewa sejak dahulu telah mendapatkan perhatian dari masyarakat internasional. Perhatian itu diwujudkan salah satunya dalam bentuk pembuatan konvensi internasional oleh organisasi internasional tertentu yang terkait dengan anak.

Berawal pada tahun 1989, Persatuan Bangsa-Bangsa membentuk Konvensi mengenai Hak Anak. Kemudian ILO, badan PBB yang bergerak di bidang perburuhan membentuk Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Konvensi ILO 182 yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke delapan puluh tujuh tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa merupakan salah satu konvensi yang melindungi hak asasi anak. Lahirnya konvensi ini didorong oleh beberapa hal, antara lain adanya Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja yang nantinya akan saling melengkapi dalam usaha melarang dan menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, adanya Konvensi ILO No. 29 Tahun 1930 tentang Kerja Paksa, dan Konvensi tambahan PBB mengenai mengenai Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Lembaga-Lembaga serta Praktek-Praktek Perbudakan atau Sejenis Perbudakan Tahun 1956.

Konvensi ILO 182 sebagai instrumen hukum internasional memuat dasar-dasar yang menjadi pijakan dalam pelaksanaan praktek perburuhan. Bahwa mereka yang dikategorikan sebagai anak yang notabene dilindungi dari praktek perburuhan adalah semua orang yang berusia di bawah delapan belas tahun. Lalu, apa yang dimaksud "bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak" dalam Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak? “Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak" adalah a) segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata, (b) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan yang bersifat porno, (c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan terlarang sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan, (d) pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.

Kekuatan mengikat Konvensi ILO 182 bagi suatu negara anggota ILO tergantung pada ada tidaknya komitmen suatu negara untuk meratifikasi konvensi tersebut. Bagi negara yang telah meratifikasi konvensi ILO 182 maka negara tersebut wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, wajib menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, mengambil langkah-langkah agar ketentuan konvensi ini dapat diterapkan secara efektif, termasuk pemberian sanksi pidana serta wajib melaporkan pelaksanaannya.

Bagaimana sikap Indonesia sebagai negara anggota ILO? Indonesia merupakan satu dari sepuluh negara yang tergolong paling cepat meratifikasi Konvensi ILO 182. Ratifikasi tersebut terwujud dengan membentuk Undang-Undang No. 1 tahun 2000. Beberapa dasar yang melatarbelakangi keputusan Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ILO 182 antara lain bahwa isi dari konvensi tersebut dirasa mampu mengakomodasi tujuan sila-sila Pancasila yang berkedudukan sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia khususnya sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, pada tahun 1998 Majelis Permusyawaratan Rakyat telah membentuk Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menugaskan Presiden dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB yang berkaitan dengan dengan hak asasi manusia, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak tanggal 30 September 1990. Di samping meratifikasi Konvensi ILO 182, Indonesia telah meratifikasi tujuh Konvensi ILO yang memuat hak-hak dasar pekerja, termasuk Konvensi No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1999.

Selama ini, pengamalan Pancasila dan penerapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan usaha perlindungan hak anak dirasa masih ada beberapa penyimpangan. Oleh karena itu, pengesahan Konvensi ILO 182 diharapkan dapat dijadikan sebagai instrumen hukum yang lebih aplikatif dalam melindungi hak anak khususnya untuk menghapuskan segala bentuk terburuk dalam praktek mempekerjakan anak. Selain itu, ratifikasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga diharapkan akan lebih menjamin perlindungan anak dari segala bentuk tindakan perbudakan dan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek pelacuran, pornografi, dan obat-obatan terlarang. Perlindungan yang dimaksud juga mencakup perlindungan dari pekerjaan yang sifatnya dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak. Dalam kaitannya dengan hubungan internasional, ratifikasi Konvensi ILO 182 dapat dijadikan sebagai sarana untuk menunjukkan kepedulian Indonesia terhadap perlindungan hak-hak anak sekaligus dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat Internasional terhadap Indonesia.

Ratifikasi Konvensi ILO 182 bukan merupakan langkah akhir Indonesia dalam melindungi anak-anak. Kepedulian pemerintah selanjutnya diwujudkan dengan pembentukan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Selain pembentukan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, adapula Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak dalam Keppres No. 88 Tahun 2002 yang lahir karena didorong oleh keprihatinan mendalam terhadap berbagai kasus perdagangan anak. Hal ini didasarkan pada kenyataan yang termuat dalam Trafficking in Persons Report June 2001 yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Dalam laporan tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-tiga bahkan pada laporan tahun 2005 menjadi pertingkat ke-dua dalam hal upaya penanggulangan perdagangan anak.

Regulasi lain yang dibentuk Indonesia dalam rangka memberikan payung hukum terhadap usaha perlindungan hak-hak anak antara lain

  • Keppres No. 40 Tahun 2004 tentang Ranham 2004-2009 tentang Memasukkan agenda ratifikasi Protokol Opsional konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata (2006).
  • Keppres No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
  • Keppres No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA)
  • Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A)

Tentu saja Indonesia bukan satu-satunya negara yang meratifikasi konvensi internasional mengenai anak. Negara ASEAN yang juga meratifikasi konvensi ILO adalah Filipina. Seperti Indonesia, Filipina juga telah meratifikasi konvensi Konvensi ILO No. 138 tahun 1973 dan Konvensi ILO No. 182 tahun 1999. Namun, tidak jauh berbeda dengan Indonesia, Filipina juga mengalami berbagai hambatan dalam implementasi konvensi-konvensi tersebut. Hambatan-hambatan tersebut antara lain adanya perbedaan persepsi antar aparat mengenai keberadaan buruh anak serta persepsi sosial budaya dan sistem pendidikan yang kurang memadai bahkan pada tahun 2000-2001, ditemukan data bahwa terdapat peningkatan buruh anak di Filipina. Pada tahun 1997, buruh anak di Filipina berjumlah 3,7 juta anak dan terus meningkat rata-rata 3,8 persen tiap tahun, hingga tahun 2001 menjadi 4,018 juta anak.

Jika dibandingkan dengan Indonsia dan Filipina, negara-negara Eropa terhitung jauh lebih konsisten menerapkan konvensi internasional mengenai anak. Di satu sisi, negara-negara Uni Eropa cenderung menganut paham liberal namun negara-negara tersebut tetap memperhatikan dan berusaha meminimalisir pengaruh negatif pornografi terhadap anak. Sebagai salah satu bukti nyata, Uni Eropa berencana membuat sistem peringatan satu atap yang akan membantu polisi menindak tegas praktek pornografi anak di internet. Komisi Eropa akan memberikan kepolisian Eropa, Europol, sejumlah uang untuk membangun sistem tersebut. Sistem ini memungkinkan setiap penyelidikan mengenai akses pornografi oleh anak di bawah umur di negara anggota Uni Eropa berjalan lebih efektif.

Contoh di atas menunjukkan komitmen negara-negara lain dalam melindungi hak-hak anak. Memang, yang diperlukan untuk melindungi hak-hak anak bukanlah sekedar pembentukan berbagai regulasi. Pembentukan regulasi akan menjadi nihil jika tidak dibarengi dengan kerja sama antara suprastruktur dan infrastruktur yang bergerak untuk menciptakan dunia yang lebih bersahabat dengan anak. (***)

Potret Pendidikan Indonesia

Mengenyam pendidikan adalah hak setiap warga negara. Jaminan akan hal itu tercantum dalam Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945. Bahkan di dalam Pasal 26 Ayat 1 Deklarasi HAM dituliskan bahwa pendidikan rendah haruslah diwajibkan. Sayangnya, dalam realita hal tersebut hanya sekadar retorika belaka. Pendidikan hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki kemampuan finansial. Sedangkan mereka yang lemah secara ekonomi hanya sebagai penonton saja. Apalagi sejak disahkannya RUU BHP sebagai undang-undang. Pintu masuk kaum miskin makin tertutup untuk mengenyam pendidikan. Lihat saja bagaimana pemerintah lepas tangan atas tanggung jawab dalam bidang pendidikan dan menyerahkan tanggung jawab tersebut pada swasta dan masyarakat. Pemerintah lebih memilih berperan sebagai dermawan yang memberikan bantuan pendidikan bagi yang tidak mampu. Padahal tanggung jawab dalam pendidikan merupakan bagian dari fungsi pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Masih banyak kekurangan dalam penyelenggaraan pendidikan. Contohnya masih banyak sekolah di daerah pedalaman yang kekurangan tenaga pengajar sehingga satu guru dapat mengajar seluruh pelajaran. Selain itu, dari segi bangunan pun, masih banyak sekolah yang perlu direnovasi karena bangunannya sudah tua dan tidak layak lagi untuk digunakan. Fasilitas-fasilitas pendidikan juga banyak yang masih kurang memadai terutama di daerah-daerah pedalaman seperti Kalimantan dan Papua.

Masalah pendidikan yang ada di Indonesia tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Masih ada sejumlah masalah pendidikan yang ada di negeri ini, misalnya masalah kurikulum yang belum sesuai dan pelaksanaan UAN yang masih mengundang kontroversial.

Kurikulum yang Membebaskan

Pada tahun 2004, pemerintah mengganti kebijakan kurikulum dari kurikulum 1994 menjadi 2004. Di dalam kurikulum tersebut, pembuat kebijakan berusaha mengganti beberapa hal yang ada. Misalnya: mengubah sistem pendidikan Indonesia yang terkesan ’menyuapi’ murid.

Kurikulum sendiri merupakan sasaran, tujuan yang akan dicapai dalam pelaksanaan pendidikan dalam jangka waktu tertentu. Sudah beberapa kali terjadi perubahan kurikulum dalam sistem pendidikan Indonesia. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.

Kurikulum yang sekarang dipakai adalah kurikulum 2006 yang dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagai penyempurnaan KBK. Idealnya, kurikulum ini menginginkan keaktifan siswa di dalam kelas sehingga peran guru perlu dibatasi. Kalau di kurikulum sebelumnya, guru yang menguasai kelas, di dalam kurikulum KBK, diharapkan guru hanya berperan sebagai fasilitator. Ini yang dicita-citakan oleh pembuat kebijakan agar membentuk karakteristik siswa Indonesia yang aktif dalam proses kegiatan belajar-mengajar (KBM). Akan tetapi dalam perjalanannya, kurikulum ini memiliki beberapa kekurangan. Pertama, dalam pelaksanaan KBM, guru memang bertindak sebagai fasilitator tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut fasilitator yang seperti apa. Jabaran mengenai peran guru sebagai fasilitator yang terkesan absurd ini membuat banyak guru seolah lepas tanggung jawab sebagai pengajar. Kedua, nilai yang tinggi dianggap sebagai satu-satunya tolak ukur keberhasilan pencapaian pengajaran dengan diterapkannya SKBM (Standar Keberhasilan Belajar-Mengajar). Murid dipacu untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Paradigma seperti ini salah kalau kita membicarakan tujuan pendidikan.Karena tujuan murid datang ke sekolah bukan untuk mendapatkan nilai tinggi melainkan untuk membebaskan diri dari kebodohan.

Memang masih banyak yang harus dibenahi dalam kurikulum pendidikan kita saat ini. Akan tetapi, satu hal yang harus diyakini tiap pihak bahwa pendidikan haruslah membebaskan anak untuk berkreasi dan mengekspresikan perasaannya. Intinya tidak membebani anak dan tidak menjadikan sekolah itu seperti penjara. Sedangkan sistem pendidikan kita belum membebaskan anak. Anak kadang sekedar mengejar nilai bukan proses. Ini sangat merugikan bagi pengembangan kreativitas dan kemandirian anak. Cara pendekatan pendidikan yang baik adalah dengan cara tetap mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Bukan anak untuk kurikulum tetapi kurikulum untuk anak. Jadi, kurikulum didesain untuk anak dalam kondisi yang berbeda.

Polemik UAN

Pengumuman Depdiknas tentang standar Ujian Nasional (UN) tahun ini membuat sejumlah murid was-was. Standar kelulusan dinaikkan 0,25 dari tahun lalu menjadi rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan. Sedangkan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Dengan kenaikan standar nilai tersebut, pemerintah berdalih itu semata dilakukan demi pengujian dan peningkatan mutu pendidikan. Memang UAN bukanlah penentu mutlak kelulusan seseorang. Berdasarkan PP 19/ 2005 pasal 72 ayat 1 Peserta didik dinyatakan lulus apabila :

a. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran

b. Memperoleh nilai minimal 75 pada penilaian akhir untuk seluruh kelompok mata pelajaran :

1) Agama dan Akhlak mulia

2) Kewarganegaraan dan Kepribadian

3) Estetika

4) Jasmani, Olahraga dan Kesehatan

c. Lulus Ujian Sekolah untuk kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

d. Lulus Ujian Nasional

Akan tetapi muncul pertanyaan haruskah pengujian dan peningkatan mutu pendidikan diukur dengan kenaikan standar kelulusan?

Ujian akhir yang dikenal dikalangan siswa sebagai UAN (untuk SMP dan SMA) dan UASBN (untuk SD) merupakan kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada tingkat pendidikan dasar dan menegah. Pelaksanaan UAN sendiri terdapat dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan PP No. 19 Tahun 2005 sebagai peraturan lanjutan. Namun, sejak pelaksanaannya pada tahun 2004, UAN terus mengundang pro dan kontra dalam masyarakat. Menurut KPAI, UN menjadi pelanggaran terhadap hak anak untuk mendapat pendidikan. Hal ini karena munculnya stigma negatif bagi mereka yng tidak lulus. Selain itu, ada sejumlah hal yang dianggap buruk dalam penerapannya.

Pertama, UAN hanya mempertimbangkan faktor kognitif siswa saja. Ini terlihat dari mata pelajaran yang diujikan dalam UAN. Sebagai contoh: siswa-siswa yang duduk di SMA kelas IPA. Mata pelajaran yang diujikan hanya Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Fisika, Kimia, dan Biologi. Padahal sebenarnya, siswa-siswa yang duduk di kelas IPA bukan hanya belajar enam mata pelajaran itu saja. Mereka juga belajar hal-hal lain semisal olahraga dan seni. Dengan cara seperti itu, pemerintah seolah mendiskreditkan mata pelajaran lain karena hanya 6 dari 15 mata pelajaran yang ada yang diujikan.

Kedua, UAN tidak mempertimbangkan faktor psikologi anak dalam pengerjaan soal. Padahal tidak tertutup kemungkinan seorang anak tidak bisa mengerjakan suatu soal karena ia dalam kondisi psikologi tidak baik. Contoh anak-anak dalam keadaan rumah tangga tidak harmonis atau anak yang sedang dalam keadaan menderita sakit flu. Tetapi hal tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan dalam pelaksanaan UAN. Padahal faktor psikologi anak menjadi penentu mampu tidaknya seorang anak dalam mengerjakan sesuatu.

Ketiga, UAN ibarat Tuhan yang menentukan masa depan seseorang tanpa memperhitungkan masa belajar seorang siswa dalam tahun-tahun sebelumnya. Maka dari itu, jangan heran ketika pengumuman UAN, ada sejumlah anak yang berprestasi dapat tidak lulus. Bahkan tak jarang anak tersebut telah diterima di universitas negeri melalui jalur PMDK.

Keempat, standar UAN yang dinaikkan sebenarnya kuranglah tepat apabila karena alasan peningkatan mutu pendidikan. Bahkan pemerintah berniat menaikkan standar kelulusan hingga mencapai angka kelulusan 6,00 seperti Malaysia. Banyak kalangan pemerhati pendidikan anak yang menyayangkan sikap pemerintah ini. Dalam meningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah memakai tolak ukur nilai tanpa memerhatikan kondisi sarana dan pra sarana suatu sekolah. Pemakaian standar nilai bukan memacu siswa untuk pintar melainkan hanya sekadar melalui standar nilai yang telah ditetapkan. Bahkan tak jarang murid membeli jawaban hanya sekadar lulus UAN.

Selain itu yang disayangkan dari sikap pemerintah yaitu membandingkan dengan negara lain semisal Malaysia dan Singapura soal standar kelulusan tanpa membandingkan pula alokasi anggaran pendidikannya. Padahal kalau membandingkan dengan negara tetangga terkait anggaran pendidikan, jelas kita tertinggal. Malaysia sendiri mengalokasikan 26% dari APBN negara tersebut untuk pendidikan. Sedangkan pemerintah kita baru tahun 2009 ini mengalokasikan anggaran 20% dari APBN untuk pendidikan. Itu pun masih setengah hati karena dimasukkannya juga anggaran pendidik di dalamnya.

Tetapi, di balik aspek negatif yang terdapat dalam pelaksanaan UAN, terdapat pula aspek positifnya antara lain sebagai berikut. Pertama, pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan. Hal ini guna penyamarataan mutu pendidikan tiap daerah. Kedua, memudahkan proses seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Tetapi ini berlaku pada UAN di tingkat pendidikan dasar. Sedangkan pada tingkat pendidikan menengah, UAN hanya sebagi pengukur kelulusan secara nasional walaupun ada wacana untuk menjadikan UAN sebagai tolak ukur masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.

Akan tetapi, di balik segala kekontroversialan yang dimiliki UAN, pelaksanaan UAN haruslah dihargai karena merupakan satu upaya pemerintah demi kemajuan pendidikan bagi bangsa ini.

Inilah sejumlah potret pendidikan di negara kita. Walaupun pada ajang-ajang olimpiade sains internasional, kita sering mendapatkan penghargaan. Sesudah terpilihnya anggota-anggota legislatif yang akan memimpin selama 5 tahun mendatang, kiranya pendidikan menjadi salah satu hal yang diperhatikan. Karena untuk membentuk sebuah negara yang maju, faktor pendidikan tidak boleh ditinggalkan. (***)

Kord: Natal

Anggota : yani & galuh

Hak- Hak Anak di Mata Mahasiswa

Anak merupakan generasi pemimpin bangsa dan negara Indonesia di masa depan. Jaminan pemenuhan hak-hak anak pada masa-masa sekarang ini menjadi modal pembangunan bangsa di masa yang akan datang. Permasalahan anak bukanlah masalah yang sederhana. Anak yang belum dewasa dan matang dalam psikologi maupun mentalnya ini kerap dijadikan objek dan bukan subjek dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Indonesia telah memiliki undang-undang yang mendukung jaminan hak-hak yang dimiliki anak, sebut saja UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan KDRT, UU Kesejahteraan Anak, dan berbagai perangkat hukum lainnya yang dalam bagian-bagiannya memuat hal-hal menyangkut anak.

Berbagai macam UU ini ternyata tidak lantas membuat kehidupan anak-anak Indonesia menjadi lebih baik. Di sudut-sudut perempatan kota-kota besar masih dijumpai anak-anak jalanan yang notabene juga anak terlantar belum mampu dipenuhi hak-haknya oleh negara seperti amanat pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Di berbagai tempat kita masih melihat pekerja-pekerja anak yang tereksploitasi tanpa mereka sadari karena himpitan ekonomi seperti pekerja anak di jermal, buruh anak, dan mungkin jenis pekerjaan yang dibebankan kepada anak tanpa disadari oleh si anak itu sendiri.

Bersama Buletin Khusus Mahkamah yang kali ini mengangkat tema Anak, Divisi Litbang BPPM Mahkamah mengadakan polling untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan mahasiswa terhadap hak-hak anak dan jaminannya dan mengetahui pendapat mahasiswa tentang beberapa permasalahan anak. Mahasiswa dipilih sebagai target polling karena mahasiswa adalah kaum intelektual yang dengan bekal pendidikan yang dimiliki mampu mencerahkan masyarakat. Polling ini ditujukan kepada mahasiswa fakultas hukum UGM, fakultas psikologi UGM, dan fakultas Ilmu Pendidikan UNY yang sebagai fakultas yang terkait erat dengan anak, hak-haknya, dan perlindungan hukumnya. Teknik pengambilan data sampel secara acak (random) dengan sebaran responden 30 mahasiswa FH UGM, 35 mahasiswa F.Psikologi UGM, dan 35 mahasiswa FIP UNY dengan total 100 responden. Hasil polling ini dapat menggambarkan bagaimana mahasiswa memandang dan menganalisis permasalahan anak di Indonesia.

Polling MAHKAMAH

  1. Apakah Anda mengetahui adanya Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?
    1. Tahu : 69%
    2. Tidak tahu : 29%
    3. Tidak menjawab: 2%

2. Dari macam-macam hak anak di bawah ini, hak anak manakah yang anda ketahui?­ (centang (√) pada kolom tahu/tidak tahu)

Macam hak

Tahu

Tidak Tahu

Hak untuk hidup, tumbuh, perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

97%

3%

hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial

81%

19%

Hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai minat dan bakatnya

96%

4%

Hak untuk mendapatkan perlidungan dari diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan

86%

14%

Hak untuk bermain dan bergaul dengan teman sebaya

75%

25%

Berbagai macam hak-hak anak tersebut sebenarnya adalah hak-hak anak yang ada dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlidungan Anak. Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak. (pasal 21 dan 22 UU no. 23 tahun 2002)

  1. Menurut Anda apakah anak (<>

a. Ya: 30% “Karena pada umur-umur di bawah 18 tahun, seorang anak secara psikologis masih ada dalam usia belajar dan bergaul dengan peer group-nya dan belum waktunya untuk mencari uang. Kalaupun ada alasan bahwa pekerjaan mereka adalah melatih kemandirian, itu adalah salah”

b. Tidak: 35% “untuk menyalurkan bakat anak selama mereka tidak diforsir untuk bekerja sesuai kapasitasnya dan terpenuhi kebutuhan dasar/pokoknya.”

c. Pendapat lain: 35% “Untuk dapat dikatakan eksploitasi harus dilihat apakah menjadi artis sebagai tulang punggung keluarga, keinginan sendiri atau paksaan.”

  1. Apakah Anda setuju atau tidak setuju terhadap peraturan daerah yang melarang memberikan uang kepada anak jalanan?
    1. Setuju: 45% “Karena pemberian uang terhadap mereka malah memberikan reinforcement kepada mereka untuk tetap meminta-minta
    2. Tidak setuju: 30% “Karena mereka tidak mempunyai ketarampilan lain disebabkan oleh kemiskinan, pendidikan rendah/akses pendidikan yang sulit dijangkau, dan kurangnya perhatian dari pemerintah daerah setempat. Jikalau larangan tersebut diterapkan, pemerintah harus mencarikan solusi bagi anak jalanan sehingga dapat hidup lebih baik.”
    3. Tidak tahu/ abstain: 25% “Memberikan uang atau tidak kepada anak jalanan merupakan hak masyarakat. Pemberian dinilai sebagai bentuk sedekah yang menjadi ajaran agama.”

  1. Pasal 20 UU Perlindungan anak menyebutkan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Terkait pasal tersebut, menurut Anda siapakah yang paling bertanggung jawab dalam dalam hal anak jalanan? Apa alasan anda?

Negara: 18%

Pemerintah: 13%

Negara dan Pemerintah (daerah): 8%

Keluarga: 9%

Orang tua: 16%

Keluarga dan orang tua: 3%

Negara, pemerintah, dan masyarakat: 2%

Orang tua dan pemerintah: 3%

Orang tua, pemerintah, dan masyarakat: 2%

Orang tua dan Negara: 1%

Orang tua, keluarga, dan pemerintah: 1%

Semua elemen: 17%

Tidak menjawab: 7%

“Negara yang diwujudkan oleh pemerintah dengan departemen sosialnya bertanggung jawab atas anak-anak jalanan sesuai amanat pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Orang tua pun bertanggung jawab sebagai orang-orang dalam lingkar pertama si anak dan orang tua merupakan tempat pembelajaran pertama bagi anak-anak jalanan tersebut.”

  1. Apakah Anda mengetahui adanya lembaga KPAI?
    1. Ya: 63%
    2. Tidak: 37%
  2. Jika Anda menjawab ya (mengetahui KPAI), menurut Anda bagaimana kinerja KPAI dalam menangani masalah perlindungan anak? Dari 63% responden yang menjawab mengetahui KPAI, penilaian yang diberikan responden adalah sebagai berikut:
    1. Sangat Bagus: 5%
    2. Bagus: 17%
    3. Cukup: 61%
    4. Buruk: 11,8%
    5. Sangat Buruk: 1,7%
    6. Tidak menilai: 3,4%

Adanya disparitas penilaian yang cukup beragam terhadap kinerja KPAI tampaknya merupakan satu hal yang menunjukan bahwa sesungguhnya hasil kerja KPAI belum seluruhnya diketahui oleh masyarakat. Bahkan adanya kegamangan untuk memberikan penilaian dapat dipahami sebagai pengaminan kinerja KPAI yang belum maksimal. (***)

Divisi Litbang ’09 BPPM MAHKAMAH (Lita&Eel)

NB: font Calibri adalah analisis Litbang, font Times New Roman asli polling dan alasan/jawaban responden

Anak dan Instrumen Perlindungan Hukum di Indonesia

Oleh:

Lia Padma Puspa Sari

Tamariska Dian Ratnaningtyas

Anak sering kali dipersepsikan sebagai manusia yang masih berada pada tahap perkembangan sehingga belum dapat dikatakan sebagai manusia yang utuh. Dengan keterbatasan usia yang tentunya berpengaruh pada pola pikir dan tindakan, anak belum mampu untuk memilah antara hal yang baik dan buruk

Oleh karena itu, pengawasan ekstra terhadap anak baik secara pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat, perlu dilakukan. Hal tersebut ditujukan untuk melindungi hak-hak anak serta mencegah masuknya pengaruh eksternal yang negatif yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Pengawasan serta perlindungan tidak hanya wajib diberikan oleh orang tua. Peran pemerintah serta masyarakat pada umumnya juga turut menentukan nasib anak. Salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam hal melindungi anak bangsa adalah dengan memberikan suatu perlindungan hukum bagi anak. Perlindungan hukum yang diperlukan adalah dalam bentuk regulasi serta penerapannya yang diharapkan dapat memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat manusia. Selain itu, untuk mendapat perlindungan dari segala macam kekerasan, ketidakadilan, penelantaran, diskriminasi, eksploitasi, maupun perbuatan negatif lain demi terwujudnya anak bangsa yang tangguh sebagai generasi penerus di masa yang akan datang.

Perlindungan Anak

Di Indonesia, perlindungan anak, salah satunya diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990.. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hak Anak ini telah diusulkan sejak tahun 1998. Namun ketika itu, kondisi perpolitikan dalam negeri belum stabil sehingga RUU Perlindungan Anak baru dapat dibahas pemerintah dan DPR sekitar pertengahan tahun 2001.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak dalam kandungan. Jadi yang membedakan antara anak dan dewasa hanyalah sebatas umur saja. Sebenarnya mendefinsikan anak / belum dewasa itu menjadi begitu rancu ketika melihat batas umur anak atau batas dewasanya seseorang dalam peraturan perundang-undangan satu dan lainnya berbeda-beda.

Anak yang dilahirkan memiliki kedudukan yang sama dengan orang dewasa sebagai manusia. Seorang anak juga memiliki hak mendapat pengakuan dari lingkungan mereka, rasa hormat atas kemampuan mereka, pemajuan dan perlindungan, serta harga diri dan partisipasi tanpa harus mencapai usia kedewasaan terlebih dahulu. Hak dan kewajiban anak diatur dalam pasal 4 hingga pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, hak anak antara lain beribadah menurut agamanya, mendapatkan pelayanan kesehatan, memperoleh pendidikan dan pengajaran, mengutarakan pendapatnya sesuai tingkat kecerdasan dan usianya, memanfaatkan waktu luang untuk bergaul dengan anak sebayanya, bermain, berekreasi sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya dalam rangka pengembangan diri.

Dengan diaturnya hak dan kewajiban anak dalam sebuah undang-undang, pemerintah menaruh harapan bahwa negara, keluarga, dan masyarakat mengetahui dan melaksanakan sesuai dengan apa yang telah diatur. Namun, anak sering kali hidup, tumbuh dan berkembang tanpa diperhatikan pemenuhan terhadap segala hal yang menjadi haknya. Banyak anak yang putus sekolah dengan alasan kedua orangtuanya tidak lagi mampu membiayai kebutuhan pendidikan mereka. Anak-anak yang putus sekolah ini juga sering kali menjadi sasaran eksploitasi entah dari orangtuanya sendiri maupun dari orang lain. Banyak anak-anak dipaksa bekerja untuk membantu mengurangi beban hidup keluarga. Mereka pun pada akhirnya kehilangan waktu untuk bisa bergaul atau bermain dengan anak sebayanya. Artinya, perhatian serta penerapan KHA dan UU Perlindungan Anak belum terealisasi dengan baik. Selanjutnya, ini akan menjadi tugas bagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia .

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

KPAI merupakan lembaga independen yang kedudukannya sejajar dengan Komisi Negara lainnya. KPAI dibentuk pada 21 Juni 2004 dengan Keppres No. 95/M Tahun 2004 berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002. Dalam keputusan Presiden tersebut, dinyatakan bahwa KPAI bertujuan untuk meningkatkan efektifitas penyelengaraan perlindungan anak.

Selain itu, yang menjadi alasan dibentuknya KPAI adalah karena dalam Konvensi Hak Anak (KHA) disebutkan bahwa setiap negara (yang turut meratifikasi) harus memiliki komisi nasional. Terbentuknya KPAI memperlihatkan suatu realita bahwa pemerintah menaruh perhatian dan berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak agar anak terhindarkan dari perbuatan-perbuatan yang merugikan.

Sebagai lembaga independen, KPAI diharapkan mampu secara aktif memperjuangkan kepentingan anak. KPAI bertugas melakukan sosialisasi mengenai seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelahaan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan anak. Selain itu KPAI juga dituntut untuk memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Sejak pendiriannya, KPAI memperoleh dana untuk menjalankan segala tugas, fungsi, dan program-programnya dari APBN (dari Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial) dan APBD. Selain itu, sumber dana juga dimungkinkan dari bantuan asing bila memang ada lembaga asing atau organisasi internasional yang ingin bekerja sama dengan KPAI. Mengenai laporan pertanggungjawaban atas penggunaan dana guna adanya transparansi serta agar tidak menimbulkan kecurigaan adanya perbuatan koruptif maupun kolutif dalam tubuh KPAI, KPAI mencantumkannya dalam rapat dengar pendapat dengan DPR.

Sayangnya popularitas KPAI kalah dengan Komnas Anak. Gaung KPAI hanya terdengar sayup-sayup. Amat disayangkan memang, masyarakat justru tidak mengenal ataupun mengetahui keberadaan KPAI serta fungsi dari komisi nasional ini. Padahal berbeda dengan KPAI, Komnas Anak hanyalah merupakan LSM yang disahkan dengan Surat Akta Notaris sebagaimana layaknya pembentukan LSM atau yayasan sosial lainnya. Selain itu, bila KPAI memiliki sumber dana yang pasti untuk menjalankan tugas-tugasnya, Komnas Anak hanya memperoleh dana untuk membiayai operasional serta program-programnya dari hasil kerja sama dengan para donor asing semisal UNICEF.

Setiap tahunnya pun perolehan dana Komnas Anak sangat fluktuatif, tergantung pendonor dana. Namun buktinya, dengan dana yang tidak pasti ini tidak membuat Komnas Anak terhambat dalam menjalankan programnya.. Bahkan sering kali anggota Komnas Anak menggunakan uang mereka pribadi untuk membantu membiayai terlaksananya program-program. KPAI sendiri sering mengeluhkan kurangnya dana yang dianggarkan pemerintah untuk KPAI. Menurut KPAI, kurangnya dana dari pemerintah lah yang menjadi penyebab kurang efektif kinerja KPAI dalam menjalankan tugas maupun program-program yang telah direncanakan.

Kinerja KPAI dinilai banyak pihak kurang memuaskan karena memang tidak menimbulkan pengaruh di masyarakat. KPAI kurang menyentuh masyarakat. KPAI tidak ada ketika masyarakat justru membutuhkan adanya perhatian serta perlindungan bagi anak-anak mereka maupun anak-anak dalam lingkungan suatu masyarakat. Ini bukti bahwa sosialisasi yang menjadi salah satu tugas KPAI tidak berjalan dengan baik. Sebuah indikasi bahwa kinerja KPAI belum cukup maksimal. Selama ini pengaduan masyarakat terkait masalah-masalah perlindungan anak serta masalah penyimpangan perlakuan terhadap anak, lebih banyak disalurkan ke Komnas Anak.

Eksistensi KPAI pun jadi dipertanyakan karena minimnya minat serta pengetahuan masyarakat dalam menjadikan KPAI sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan anak. Dengan atau tidak adanya KPAI, sebenarnya tidak menimbulkan dampak apa-apa terhadap kelangsungan pemenuhan hak serta perlindungan yang sejak awal dijanjikan KPAI pada anak-anak Indonesia .

Bahkan dewasa ini anak-anak menjadi marak dimanfaatkan untuk ikut serta dalam kampanye. Padahal jelas tercantum dalam UU Perlindungan Anak bahwa tiap anak berhak untuk mendapat perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Kemana KPAI ketika kampanye berlangsung dan hak perlindungan anak disimpangi? Perlu banyak perbaikan disini. Tidak hanya perbaikan kinerja KPAI sebagai komisi negara saja tapi juga perbaikan terhadap pelaksanaan nyata atas UU Perlindungan Anak sehingga menimbulkan dampak positif terhadap perkembangan anak-anak di Indonesia . Anak merupakan generasi penerus, maka diperlukan langkah yang pasti dalam menciptakan sumber daya manusia yang tangguh, berkualitas dan mampu bersaing dalam memajukan negeri ini. (***)

ANAK SEBAGAI OBJEK?

Posisi anak dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia sangat dilematis. Ketergantungan anak terhadap orang tua yang sangat besar dijadikan alat untuk mengeksploitasi anak. Tidak heran apabila salah satu aktor utama eksploitasi anak adalah orang tua. Orang tua yang seharusnya menjadi pelindung bagi anak-anak berubah menjadi oknum-oknum pelaku eksploitasi anak. Himpitan ekonomi yang berkepanjangan menjadi alasan utama. Tidak heran jumlah anak-anak jalanan semakin bertambah. Jalanan dipenuhi oleh pengamen di bawah umur. Hal ini seolah-olah menegaskan ‘pembiaran’ yang dilakukan oleh negara.

Benarkah demikian? Ditinjau dari sisi normatif, berbagai produk hukum berkaitan dengan perlindungan anak telah dikeluarkan. Bahkan tugas negara berkaitan dengan hak anak dijamin oleh Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 34 ayat (1) konstitusi menyatakan, “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini sejalan dengan tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam tataran peraturan perundang-undangan, komitmen pemerintah dalam perlindungan anak secara konkret diwujudkan dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahkan secara eksplisit UU Perlindungan Anak dalam pasal 20 menyebutkan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Sayangnya anak-anak Indonesia belum semuanya bisa tertawa gembira. Bahkan untuk hidup dalam pengharapan saja dirasakan mustahil. Produk-produk regulasi yang dihasilkan oleh pemerintah tidak diikuti oleh implementasi yang baik. Sebagian besar dari anak-anak Indonesia hidup dalam suasana muram, penuh tekanan, bahkan ancaman yang menurunkan derajat peradaban kemanusiaan.

Peran pemerintah melindungi hak-hak anak sangat minimalis. Menjadi suatu kewajaran apabila sistem pendidikan nasional juga sarat nuansa pro dan kontra. Polemik UAN dan perubahan kurikulum tanpa disertai pengembangan kapabilitas dan kesejahteraan tenaga pendidik merupakan sekelumit permasalahan seputar pendidikan nasional kita. Akibatnya visi kurikulum pendidikan nasional cenderung bersifat industrial kapitalistik. Mekanisme penilaian dalam UAN seolah-olah menjadi momok yang menakutkan setiap tahunnya. Pengukuran yang eksak dan berstandar presisi dengan teknik tes terstandar dan isomorfis sebagai penentu keberhasilan siswa merupakan ciri khas pendidikan Indonesia. Tidak seimbangnya penilaian terhadap aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa menjadi corak tersendiri dari sistem pendidikan nasional.

Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan 20% dari APBD.” Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi yang menetapkan anggaran pendidikan harus disediakan pemerintah 20% dari APBN. Akan tetapi implementasinya bertolak belakang dengan regulasi yang ada. Sekali lagi politik berada di atas hukum.

Mempertanyakan arah pendidikan nasional di tengah-tengah situasi kultural politis seperti sekarang ini menjadi aktual dan mendesak. Pembaharuan sistem pendidikan harus seceatnya dilakukan. Tetapi perlu diingat bahwa pembaharuan di bidang pendidikan tidak akan terjadi tanpa pembaharuan di bidang politik dan hukum.

Pemilu Legislatif telah lewat. Pemilu Presiden semakin dekat. Semoga para wakil rakyat lebih bisa peduli terhadap nasib anak-anak Indonesia. Posisi anak dalam kultural masyarakat Indonesia yang telah bergeser dari subjek menjadi objek harus mendapat perhatian dari para wakil rakyat. Apabila realitas seperti ini tetap dibiarkan, maka peringatan Hari Pendidikan Nasional hanya seremonial belaka. Ki Hajar Dewantara hanyalah pahlawan di atas kertas karena semangatnya untuk memajukan bangsa melalui pendidikan telah diselewengkan demi kepentingan pragmatis belaka.

Bonar Cornelius