Selasa, 14 Juli 2009

Potret Pendidikan Indonesia

Mengenyam pendidikan adalah hak setiap warga negara. Jaminan akan hal itu tercantum dalam Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945. Bahkan di dalam Pasal 26 Ayat 1 Deklarasi HAM dituliskan bahwa pendidikan rendah haruslah diwajibkan. Sayangnya, dalam realita hal tersebut hanya sekadar retorika belaka. Pendidikan hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki kemampuan finansial. Sedangkan mereka yang lemah secara ekonomi hanya sebagai penonton saja. Apalagi sejak disahkannya RUU BHP sebagai undang-undang. Pintu masuk kaum miskin makin tertutup untuk mengenyam pendidikan. Lihat saja bagaimana pemerintah lepas tangan atas tanggung jawab dalam bidang pendidikan dan menyerahkan tanggung jawab tersebut pada swasta dan masyarakat. Pemerintah lebih memilih berperan sebagai dermawan yang memberikan bantuan pendidikan bagi yang tidak mampu. Padahal tanggung jawab dalam pendidikan merupakan bagian dari fungsi pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Masih banyak kekurangan dalam penyelenggaraan pendidikan. Contohnya masih banyak sekolah di daerah pedalaman yang kekurangan tenaga pengajar sehingga satu guru dapat mengajar seluruh pelajaran. Selain itu, dari segi bangunan pun, masih banyak sekolah yang perlu direnovasi karena bangunannya sudah tua dan tidak layak lagi untuk digunakan. Fasilitas-fasilitas pendidikan juga banyak yang masih kurang memadai terutama di daerah-daerah pedalaman seperti Kalimantan dan Papua.

Masalah pendidikan yang ada di Indonesia tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Masih ada sejumlah masalah pendidikan yang ada di negeri ini, misalnya masalah kurikulum yang belum sesuai dan pelaksanaan UAN yang masih mengundang kontroversial.

Kurikulum yang Membebaskan

Pada tahun 2004, pemerintah mengganti kebijakan kurikulum dari kurikulum 1994 menjadi 2004. Di dalam kurikulum tersebut, pembuat kebijakan berusaha mengganti beberapa hal yang ada. Misalnya: mengubah sistem pendidikan Indonesia yang terkesan ’menyuapi’ murid.

Kurikulum sendiri merupakan sasaran, tujuan yang akan dicapai dalam pelaksanaan pendidikan dalam jangka waktu tertentu. Sudah beberapa kali terjadi perubahan kurikulum dalam sistem pendidikan Indonesia. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.

Kurikulum yang sekarang dipakai adalah kurikulum 2006 yang dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagai penyempurnaan KBK. Idealnya, kurikulum ini menginginkan keaktifan siswa di dalam kelas sehingga peran guru perlu dibatasi. Kalau di kurikulum sebelumnya, guru yang menguasai kelas, di dalam kurikulum KBK, diharapkan guru hanya berperan sebagai fasilitator. Ini yang dicita-citakan oleh pembuat kebijakan agar membentuk karakteristik siswa Indonesia yang aktif dalam proses kegiatan belajar-mengajar (KBM). Akan tetapi dalam perjalanannya, kurikulum ini memiliki beberapa kekurangan. Pertama, dalam pelaksanaan KBM, guru memang bertindak sebagai fasilitator tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut fasilitator yang seperti apa. Jabaran mengenai peran guru sebagai fasilitator yang terkesan absurd ini membuat banyak guru seolah lepas tanggung jawab sebagai pengajar. Kedua, nilai yang tinggi dianggap sebagai satu-satunya tolak ukur keberhasilan pencapaian pengajaran dengan diterapkannya SKBM (Standar Keberhasilan Belajar-Mengajar). Murid dipacu untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Paradigma seperti ini salah kalau kita membicarakan tujuan pendidikan.Karena tujuan murid datang ke sekolah bukan untuk mendapatkan nilai tinggi melainkan untuk membebaskan diri dari kebodohan.

Memang masih banyak yang harus dibenahi dalam kurikulum pendidikan kita saat ini. Akan tetapi, satu hal yang harus diyakini tiap pihak bahwa pendidikan haruslah membebaskan anak untuk berkreasi dan mengekspresikan perasaannya. Intinya tidak membebani anak dan tidak menjadikan sekolah itu seperti penjara. Sedangkan sistem pendidikan kita belum membebaskan anak. Anak kadang sekedar mengejar nilai bukan proses. Ini sangat merugikan bagi pengembangan kreativitas dan kemandirian anak. Cara pendekatan pendidikan yang baik adalah dengan cara tetap mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Bukan anak untuk kurikulum tetapi kurikulum untuk anak. Jadi, kurikulum didesain untuk anak dalam kondisi yang berbeda.

Polemik UAN

Pengumuman Depdiknas tentang standar Ujian Nasional (UN) tahun ini membuat sejumlah murid was-was. Standar kelulusan dinaikkan 0,25 dari tahun lalu menjadi rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan. Sedangkan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Dengan kenaikan standar nilai tersebut, pemerintah berdalih itu semata dilakukan demi pengujian dan peningkatan mutu pendidikan. Memang UAN bukanlah penentu mutlak kelulusan seseorang. Berdasarkan PP 19/ 2005 pasal 72 ayat 1 Peserta didik dinyatakan lulus apabila :

a. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran

b. Memperoleh nilai minimal 75 pada penilaian akhir untuk seluruh kelompok mata pelajaran :

1) Agama dan Akhlak mulia

2) Kewarganegaraan dan Kepribadian

3) Estetika

4) Jasmani, Olahraga dan Kesehatan

c. Lulus Ujian Sekolah untuk kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

d. Lulus Ujian Nasional

Akan tetapi muncul pertanyaan haruskah pengujian dan peningkatan mutu pendidikan diukur dengan kenaikan standar kelulusan?

Ujian akhir yang dikenal dikalangan siswa sebagai UAN (untuk SMP dan SMA) dan UASBN (untuk SD) merupakan kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada tingkat pendidikan dasar dan menegah. Pelaksanaan UAN sendiri terdapat dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan PP No. 19 Tahun 2005 sebagai peraturan lanjutan. Namun, sejak pelaksanaannya pada tahun 2004, UAN terus mengundang pro dan kontra dalam masyarakat. Menurut KPAI, UN menjadi pelanggaran terhadap hak anak untuk mendapat pendidikan. Hal ini karena munculnya stigma negatif bagi mereka yng tidak lulus. Selain itu, ada sejumlah hal yang dianggap buruk dalam penerapannya.

Pertama, UAN hanya mempertimbangkan faktor kognitif siswa saja. Ini terlihat dari mata pelajaran yang diujikan dalam UAN. Sebagai contoh: siswa-siswa yang duduk di SMA kelas IPA. Mata pelajaran yang diujikan hanya Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Fisika, Kimia, dan Biologi. Padahal sebenarnya, siswa-siswa yang duduk di kelas IPA bukan hanya belajar enam mata pelajaran itu saja. Mereka juga belajar hal-hal lain semisal olahraga dan seni. Dengan cara seperti itu, pemerintah seolah mendiskreditkan mata pelajaran lain karena hanya 6 dari 15 mata pelajaran yang ada yang diujikan.

Kedua, UAN tidak mempertimbangkan faktor psikologi anak dalam pengerjaan soal. Padahal tidak tertutup kemungkinan seorang anak tidak bisa mengerjakan suatu soal karena ia dalam kondisi psikologi tidak baik. Contoh anak-anak dalam keadaan rumah tangga tidak harmonis atau anak yang sedang dalam keadaan menderita sakit flu. Tetapi hal tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan dalam pelaksanaan UAN. Padahal faktor psikologi anak menjadi penentu mampu tidaknya seorang anak dalam mengerjakan sesuatu.

Ketiga, UAN ibarat Tuhan yang menentukan masa depan seseorang tanpa memperhitungkan masa belajar seorang siswa dalam tahun-tahun sebelumnya. Maka dari itu, jangan heran ketika pengumuman UAN, ada sejumlah anak yang berprestasi dapat tidak lulus. Bahkan tak jarang anak tersebut telah diterima di universitas negeri melalui jalur PMDK.

Keempat, standar UAN yang dinaikkan sebenarnya kuranglah tepat apabila karena alasan peningkatan mutu pendidikan. Bahkan pemerintah berniat menaikkan standar kelulusan hingga mencapai angka kelulusan 6,00 seperti Malaysia. Banyak kalangan pemerhati pendidikan anak yang menyayangkan sikap pemerintah ini. Dalam meningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah memakai tolak ukur nilai tanpa memerhatikan kondisi sarana dan pra sarana suatu sekolah. Pemakaian standar nilai bukan memacu siswa untuk pintar melainkan hanya sekadar melalui standar nilai yang telah ditetapkan. Bahkan tak jarang murid membeli jawaban hanya sekadar lulus UAN.

Selain itu yang disayangkan dari sikap pemerintah yaitu membandingkan dengan negara lain semisal Malaysia dan Singapura soal standar kelulusan tanpa membandingkan pula alokasi anggaran pendidikannya. Padahal kalau membandingkan dengan negara tetangga terkait anggaran pendidikan, jelas kita tertinggal. Malaysia sendiri mengalokasikan 26% dari APBN negara tersebut untuk pendidikan. Sedangkan pemerintah kita baru tahun 2009 ini mengalokasikan anggaran 20% dari APBN untuk pendidikan. Itu pun masih setengah hati karena dimasukkannya juga anggaran pendidik di dalamnya.

Tetapi, di balik aspek negatif yang terdapat dalam pelaksanaan UAN, terdapat pula aspek positifnya antara lain sebagai berikut. Pertama, pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan. Hal ini guna penyamarataan mutu pendidikan tiap daerah. Kedua, memudahkan proses seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Tetapi ini berlaku pada UAN di tingkat pendidikan dasar. Sedangkan pada tingkat pendidikan menengah, UAN hanya sebagi pengukur kelulusan secara nasional walaupun ada wacana untuk menjadikan UAN sebagai tolak ukur masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.

Akan tetapi, di balik segala kekontroversialan yang dimiliki UAN, pelaksanaan UAN haruslah dihargai karena merupakan satu upaya pemerintah demi kemajuan pendidikan bagi bangsa ini.

Inilah sejumlah potret pendidikan di negara kita. Walaupun pada ajang-ajang olimpiade sains internasional, kita sering mendapatkan penghargaan. Sesudah terpilihnya anggota-anggota legislatif yang akan memimpin selama 5 tahun mendatang, kiranya pendidikan menjadi salah satu hal yang diperhatikan. Karena untuk membentuk sebuah negara yang maju, faktor pendidikan tidak boleh ditinggalkan. (***)

Kord: Natal

Anggota : yani & galuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar