Posisi anak dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia sangat dilematis. Ketergantungan anak terhadap orang tua yang sangat besar dijadikan alat untuk mengeksploitasi anak. Tidak heran apabila salah satu aktor utama eksploitasi anak adalah orang tua. Orang tua yang seharusnya menjadi pelindung bagi anak-anak berubah menjadi oknum-oknum pelaku eksploitasi anak. Himpitan ekonomi yang berkepanjangan menjadi alasan utama. Tidak heran jumlah anak-anak jalanan semakin bertambah. Jalanan dipenuhi oleh pengamen di bawah umur. Hal ini seolah-olah menegaskan ‘pembiaran’ yang dilakukan oleh negara.
Benarkah demikian? Ditinjau dari sisi normatif, berbagai produk hukum berkaitan dengan perlindungan anak telah dikeluarkan. Bahkan tugas negara berkaitan dengan hak anak dijamin oleh Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 34 ayat (1) konstitusi menyatakan, “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini sejalan dengan tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam tataran peraturan perundang-undangan, komitmen pemerintah dalam perlindungan anak secara konkret diwujudkan dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahkan secara eksplisit UU Perlindungan Anak dalam pasal 20 menyebutkan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Sayangnya anak-anak Indonesia belum semuanya bisa tertawa gembira. Bahkan untuk hidup dalam pengharapan saja dirasakan mustahil. Produk-produk regulasi yang dihasilkan oleh pemerintah tidak diikuti oleh implementasi yang baik. Sebagian besar dari anak-anak Indonesia hidup dalam suasana muram, penuh tekanan, bahkan ancaman yang menurunkan derajat peradaban kemanusiaan.
Peran pemerintah melindungi hak-hak anak sangat minimalis. Menjadi suatu kewajaran apabila sistem pendidikan nasional juga sarat nuansa pro dan kontra. Polemik UAN dan perubahan kurikulum tanpa disertai pengembangan kapabilitas dan kesejahteraan tenaga pendidik merupakan sekelumit permasalahan seputar pendidikan nasional kita. Akibatnya visi kurikulum pendidikan nasional cenderung bersifat industrial kapitalistik. Mekanisme penilaian dalam UAN seolah-olah menjadi momok yang menakutkan setiap tahunnya. Pengukuran yang eksak dan berstandar presisi dengan teknik tes terstandar dan isomorfis sebagai penentu keberhasilan siswa merupakan ciri khas pendidikan Indonesia. Tidak seimbangnya penilaian terhadap aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa menjadi corak tersendiri dari sistem pendidikan nasional.
Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan 20% dari APBD.” Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi yang menetapkan anggaran pendidikan harus disediakan pemerintah 20% dari APBN. Akan tetapi implementasinya bertolak belakang dengan regulasi yang ada. Sekali lagi politik berada di atas hukum.
Mempertanyakan arah pendidikan nasional di tengah-tengah situasi kultural politis seperti sekarang ini menjadi aktual dan mendesak. Pembaharuan sistem pendidikan harus seceatnya dilakukan. Tetapi perlu diingat bahwa pembaharuan di bidang pendidikan tidak akan terjadi tanpa pembaharuan di bidang politik dan hukum.
Pemilu Legislatif telah lewat. Pemilu Presiden semakin dekat. Semoga para wakil rakyat lebih bisa peduli terhadap nasib anak-anak Indonesia. Posisi anak dalam kultural masyarakat Indonesia yang telah bergeser dari subjek menjadi objek harus mendapat perhatian dari para wakil rakyat. Apabila realitas seperti ini tetap dibiarkan, maka peringatan Hari Pendidikan Nasional hanya seremonial belaka. Ki Hajar Dewantara hanyalah pahlawan di atas kertas karena semangatnya untuk memajukan bangsa melalui pendidikan telah diselewengkan demi kepentingan pragmatis belaka.
Bonar Cornelius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar