Selasa, 14 Juli 2009

KETIKA SADAR, OTAK ANAK DI RAHIM MEDIA

Media dapat dikatakan sebagai mata dan telinga masyarakat dalam menangkap fenomena sosial yang terjadi dilingkungan sekitar nya, sehingga tidak menjadi berlebihan ketika eksistensi media dapat dikatakan mampu membentuk pola pikir para penikmatnya. Media adalah salah satu unsur pokok penting dalam dinamika sosial. Media memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi yang kemudian dibuktikan oleh sebuah penelitian bahwa persepsi mempengaruhi sikap (attitude) dan perilaku seseorang. Kognisi tersebut dapat menimbulkan sikap melalui suatu proses yang dikenal dengan istilah classical conditioning, proses dimana beberapa stimulus yang bersifat netral atau tidak mempunyai efek untuk memicu repon positif maupun negatif. Singkatnya, mutu suatu bangsa tidak akan pernah lepas dari peran media pada dasarnya.

Membahas mengenai media sebagai salah satu parameter pengungkur pola pikir dan mutu suatu bangsa, maka akan sangat relevan ketika kita menyandingkan isu tentang peran media dengan pembentukan pola pikir dan pola perilaku anak, dimana anak untuk saat ini berada di tengah kondisi dengan akses informasi yang sangat terbuka namun kondisinya anak sebagai individu belum memiliki kemampuan atau kecakapan dalam memberi penilaian yang tepat akan suatu informasi yang mereka dapat.

Indonesia telah memiliki UU nomor 23 tahun 2002 yang mengatur tentang perlindungan anak, didalam nya menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan. Hak Anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Perlu diingat, hak-hak anak yang melekat dalam diri setiap anak juga merupakam bagian dari hak asasi manusia. Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam piagam PBB, hak-hak anak merupakan pengakuan atas martabat, yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut. Anak-anak pun memperoleh hak untuk hidup, memperoleh pendidikan, kesehatan, perlindungan dan hak untuk menyatakan pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, hal ini juga diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 22 pasal (3).

Idealnya, anak-anak disuguhkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan yang sesuai dengan umur dan pola pikirnya. Namun kenyataannya saat ini, anak-anak tidak disuguhkan sajian informasi yang tepat dengan pola perkembangan pikirannya. Dari hasil pemantauan Depatemen Komunikasi dan Informatika Januari–Maret 2007, menyatakan bahwa tendensi isi tayangan cenderung mengeksploitasi kekerasan terhadap anak-anak dan dapat menyebabkan anak menjadi pribadi yang destruktif.

Anak-anak telah dimanjakan oleh berbagai akses informasi yang dapat menyebabkan mereka konsumtif, pasif, dan perkembangan psikologis mereka yang tidak tepat pada waktu nya. Walau tak dapat dipungkiri bahwa media mempunyai dampak cukup banyak dampak positif terkait dengan penyajian informasi yang mampu memperluas wawasan anak, membuka fikiran akan suatu hal, memperluas pergaulan, mendorong rasa ingin tahu mereka agar mereka menjadi kritis, serta mempermudah komunikasi, dapat membuat mereka memanfaatkan perkembangan teknologi.

Dengan melihat pertimbangan baik buruknya media dalam kehidupan anak, maka tidak tepat ketika kita memberikan semacan justifikasi atau katakanlah menyalahkan hanya pada satu variabel diatas; anak atau media. Namun hal yang harus dicermati disini adalah bagaimana media yang memainkan peran penting dalam upaya pencegahan perlakuan salah terhadap anak dapat menyajikan informasi ataupun program yang lebih bertanggung jawab dengan artian tidak menonjolkan sisi sensasionalitas semata, tetapi bersifat mendidik untuk upaya promotif dan preventif. Misalnya, mengajak masyarakat melakukan dekulturisasi budaya diterimanya kekerasan di masyarakat, sosialisasi ancaman pidana dan denda untuk menumbuhkan efek jera (deterrence) di masyarakat, menjelaskan cara-cara tanpa kekerasan untuk menyelesaikan masalah, mendidik masyarakat mengenai besarnya dampak kekerasan pada anak bagi tumbuh kembang anak, menyuarakan upaya-upaya alternatif yang perlu diambil pemerintah dalam memerangi kekerasan pada anak.

Terkait dengan hal diatas maka pertanyaan yang timbul berikutnya adalah; apakah regulasi nasional yang kita miliki sudah cukup mengakomodasi hal tersebut? Maka baiknya kita menilik Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Dalam undang-undang ini, disebutkan Dalam bab II pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa, penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol, dan perekat sosial. Hal yang perlu dicermati disini adalah kata ‘hiburan yang sehat’ bahwa fungsi entertain harus disajikan pada porsi yang tepat dimana muatan hiburan tidak serta merta mengenyampingkan nilai edukasi ataupun nilai moral yang harus disampaikan.

Terkait dengan peran media dalam membentuk pola perilaku anak, bahwa harus diperhitungkan juga peran media sebagai penegak hak-hak anak. Dimana media harus mampu membentuk opini publik atas hal-hal yang terkait dengan kebutuhan anak ataupun sarana advokasi melindungi hak-hak anak. Sedikit menyinggung mengenai Konvensi Hak Anak atau disingkat dengan KHA, bahwa hak-hak anak dijamin oleh sebuah konvensi yang dinamakan Konvensi Hak Anak (KHA). KHA adalah perjanjian antarbangsa mengenai hak-hak anak. Konvensi atau kovenan adalah kata lain dari treaty (traktat, pakta) yang merupakan perjanjian di antara beberapa negara. Perjanjian ini bersifat mengikat secara yuridis dan politis. Jadi artinya, semua negara yang ikut menandatangani KHA harus mengakui dan memenuhi hak-hak anak.

Ada empat prinsip yang terkandung dalam KHA yang penting untuk dicermati antara lain: Non Diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, dan yang terakhir adalah penghargaan terhadap partisipasi anak. Bahwa anak harus dipandang sama tanpa harus melihat latar belakang yang berbeda terkait ras, etnis ataupun agama. Kepentingan yang terbaik bagi anak dijalankan oleh lembaga-lembaga sosial dan dijadikan prioritas utama. Setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan dan negara wajib menjamin kelangsungan hidup serta perkembangan anak sampai batas maksimal. Dan adanya penghargaan atas pandangan dan menyatakan pendapatnya sesuai dengan tingkat kematangan si anak.

Memahami tentang korelasi yang kuat antara media dan pembentukan prilaku anak maka satu variabel yang tidak dapat dikesampingkan adalah peran orang tua. Orang tua menduduki posisi krusial dalam pembentukan ‘hubungan’ media dan anak. Ketika pada tulisan sebelumnya kita sepakat bahwa anak merupakan individu yang belum memiliki kemampuan untuk memfilterisasi informasi yang bermobilitas tinggi disekitarnya, maka hal ini menjadi perang orang tua untuk menjadi filter bagi informasi yang akan mereka dapatkan. Tidak hanya sebagai filter penulis fikir, namun orang tua harus mampu memposisikan dirinya sebagai tempat dimana anak bisa bertanya akan suatu hal yang belum diketahui sang anak, atau dalam konteks aktif, orang tua memberikan penjelasan-penjelasan mengenai hal-hal yang dilihat dan didengar oleh si anak lewat media, tanpa menunggu pertanyaan muncul dari mulut si anak.

Ideal nya memang seperti itu, namun lagi-lagi terbentur dengan realita yang telah membentuk budaya yang berbeda dari harapan. Dimana orang tua lebih banyak menghabiskan waktu nya untuk bekerja. Tidak salah memang, di zaman yang memiliki intensitas persaingan yang tinggi layaknya saat ini memang dibutuhkan ketangguhan dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun bukan berarti mengenyampingkan kebutuhan anak yang notabene nya; mereka adalah penerus pelaku dinamika ini. Anak merupakan masa depan dan penerus bangsa sehingga anak harus lebih mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan hak-haknya.

Banyak hal dan akan banyak pihak yang akan menjadi ‘bertanggungjawab’ atas masalah ini. Media, orang tua, pemerintah dan anak itu sendiri. Langkah-langkah yang telah ditempuh seperti segmentasi penonton akan suatu program dengan penayangan simbol-simbol seperti BO, D, dan SU disetiap program adalah bentuk itikad baik akan kesadaran seluruh pihak akan pentingnya ‘porsi yang pas’ dalam penyajian informasi disetiap kalangan umur. Namun akan lebih efektif ketika itikad baik ini disambut oleh masyarakat untuk benar-benar menghidupkan itikad baik ini sehingga tidak menjadi suatu langkah yang pada akhirnya tidak pernah sampai pada tujuan yang ingin dituju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar