Selasa, 14 Juli 2009

Anak dan Instrumen Perlindungan Hukum di Indonesia

Oleh:

Lia Padma Puspa Sari

Tamariska Dian Ratnaningtyas

Anak sering kali dipersepsikan sebagai manusia yang masih berada pada tahap perkembangan sehingga belum dapat dikatakan sebagai manusia yang utuh. Dengan keterbatasan usia yang tentunya berpengaruh pada pola pikir dan tindakan, anak belum mampu untuk memilah antara hal yang baik dan buruk

Oleh karena itu, pengawasan ekstra terhadap anak baik secara pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat, perlu dilakukan. Hal tersebut ditujukan untuk melindungi hak-hak anak serta mencegah masuknya pengaruh eksternal yang negatif yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Pengawasan serta perlindungan tidak hanya wajib diberikan oleh orang tua. Peran pemerintah serta masyarakat pada umumnya juga turut menentukan nasib anak. Salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam hal melindungi anak bangsa adalah dengan memberikan suatu perlindungan hukum bagi anak. Perlindungan hukum yang diperlukan adalah dalam bentuk regulasi serta penerapannya yang diharapkan dapat memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat manusia. Selain itu, untuk mendapat perlindungan dari segala macam kekerasan, ketidakadilan, penelantaran, diskriminasi, eksploitasi, maupun perbuatan negatif lain demi terwujudnya anak bangsa yang tangguh sebagai generasi penerus di masa yang akan datang.

Perlindungan Anak

Di Indonesia, perlindungan anak, salah satunya diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990.. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hak Anak ini telah diusulkan sejak tahun 1998. Namun ketika itu, kondisi perpolitikan dalam negeri belum stabil sehingga RUU Perlindungan Anak baru dapat dibahas pemerintah dan DPR sekitar pertengahan tahun 2001.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak dalam kandungan. Jadi yang membedakan antara anak dan dewasa hanyalah sebatas umur saja. Sebenarnya mendefinsikan anak / belum dewasa itu menjadi begitu rancu ketika melihat batas umur anak atau batas dewasanya seseorang dalam peraturan perundang-undangan satu dan lainnya berbeda-beda.

Anak yang dilahirkan memiliki kedudukan yang sama dengan orang dewasa sebagai manusia. Seorang anak juga memiliki hak mendapat pengakuan dari lingkungan mereka, rasa hormat atas kemampuan mereka, pemajuan dan perlindungan, serta harga diri dan partisipasi tanpa harus mencapai usia kedewasaan terlebih dahulu. Hak dan kewajiban anak diatur dalam pasal 4 hingga pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, hak anak antara lain beribadah menurut agamanya, mendapatkan pelayanan kesehatan, memperoleh pendidikan dan pengajaran, mengutarakan pendapatnya sesuai tingkat kecerdasan dan usianya, memanfaatkan waktu luang untuk bergaul dengan anak sebayanya, bermain, berekreasi sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya dalam rangka pengembangan diri.

Dengan diaturnya hak dan kewajiban anak dalam sebuah undang-undang, pemerintah menaruh harapan bahwa negara, keluarga, dan masyarakat mengetahui dan melaksanakan sesuai dengan apa yang telah diatur. Namun, anak sering kali hidup, tumbuh dan berkembang tanpa diperhatikan pemenuhan terhadap segala hal yang menjadi haknya. Banyak anak yang putus sekolah dengan alasan kedua orangtuanya tidak lagi mampu membiayai kebutuhan pendidikan mereka. Anak-anak yang putus sekolah ini juga sering kali menjadi sasaran eksploitasi entah dari orangtuanya sendiri maupun dari orang lain. Banyak anak-anak dipaksa bekerja untuk membantu mengurangi beban hidup keluarga. Mereka pun pada akhirnya kehilangan waktu untuk bisa bergaul atau bermain dengan anak sebayanya. Artinya, perhatian serta penerapan KHA dan UU Perlindungan Anak belum terealisasi dengan baik. Selanjutnya, ini akan menjadi tugas bagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia .

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

KPAI merupakan lembaga independen yang kedudukannya sejajar dengan Komisi Negara lainnya. KPAI dibentuk pada 21 Juni 2004 dengan Keppres No. 95/M Tahun 2004 berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002. Dalam keputusan Presiden tersebut, dinyatakan bahwa KPAI bertujuan untuk meningkatkan efektifitas penyelengaraan perlindungan anak.

Selain itu, yang menjadi alasan dibentuknya KPAI adalah karena dalam Konvensi Hak Anak (KHA) disebutkan bahwa setiap negara (yang turut meratifikasi) harus memiliki komisi nasional. Terbentuknya KPAI memperlihatkan suatu realita bahwa pemerintah menaruh perhatian dan berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak agar anak terhindarkan dari perbuatan-perbuatan yang merugikan.

Sebagai lembaga independen, KPAI diharapkan mampu secara aktif memperjuangkan kepentingan anak. KPAI bertugas melakukan sosialisasi mengenai seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelahaan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan anak. Selain itu KPAI juga dituntut untuk memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Sejak pendiriannya, KPAI memperoleh dana untuk menjalankan segala tugas, fungsi, dan program-programnya dari APBN (dari Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial) dan APBD. Selain itu, sumber dana juga dimungkinkan dari bantuan asing bila memang ada lembaga asing atau organisasi internasional yang ingin bekerja sama dengan KPAI. Mengenai laporan pertanggungjawaban atas penggunaan dana guna adanya transparansi serta agar tidak menimbulkan kecurigaan adanya perbuatan koruptif maupun kolutif dalam tubuh KPAI, KPAI mencantumkannya dalam rapat dengar pendapat dengan DPR.

Sayangnya popularitas KPAI kalah dengan Komnas Anak. Gaung KPAI hanya terdengar sayup-sayup. Amat disayangkan memang, masyarakat justru tidak mengenal ataupun mengetahui keberadaan KPAI serta fungsi dari komisi nasional ini. Padahal berbeda dengan KPAI, Komnas Anak hanyalah merupakan LSM yang disahkan dengan Surat Akta Notaris sebagaimana layaknya pembentukan LSM atau yayasan sosial lainnya. Selain itu, bila KPAI memiliki sumber dana yang pasti untuk menjalankan tugas-tugasnya, Komnas Anak hanya memperoleh dana untuk membiayai operasional serta program-programnya dari hasil kerja sama dengan para donor asing semisal UNICEF.

Setiap tahunnya pun perolehan dana Komnas Anak sangat fluktuatif, tergantung pendonor dana. Namun buktinya, dengan dana yang tidak pasti ini tidak membuat Komnas Anak terhambat dalam menjalankan programnya.. Bahkan sering kali anggota Komnas Anak menggunakan uang mereka pribadi untuk membantu membiayai terlaksananya program-program. KPAI sendiri sering mengeluhkan kurangnya dana yang dianggarkan pemerintah untuk KPAI. Menurut KPAI, kurangnya dana dari pemerintah lah yang menjadi penyebab kurang efektif kinerja KPAI dalam menjalankan tugas maupun program-program yang telah direncanakan.

Kinerja KPAI dinilai banyak pihak kurang memuaskan karena memang tidak menimbulkan pengaruh di masyarakat. KPAI kurang menyentuh masyarakat. KPAI tidak ada ketika masyarakat justru membutuhkan adanya perhatian serta perlindungan bagi anak-anak mereka maupun anak-anak dalam lingkungan suatu masyarakat. Ini bukti bahwa sosialisasi yang menjadi salah satu tugas KPAI tidak berjalan dengan baik. Sebuah indikasi bahwa kinerja KPAI belum cukup maksimal. Selama ini pengaduan masyarakat terkait masalah-masalah perlindungan anak serta masalah penyimpangan perlakuan terhadap anak, lebih banyak disalurkan ke Komnas Anak.

Eksistensi KPAI pun jadi dipertanyakan karena minimnya minat serta pengetahuan masyarakat dalam menjadikan KPAI sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan anak. Dengan atau tidak adanya KPAI, sebenarnya tidak menimbulkan dampak apa-apa terhadap kelangsungan pemenuhan hak serta perlindungan yang sejak awal dijanjikan KPAI pada anak-anak Indonesia .

Bahkan dewasa ini anak-anak menjadi marak dimanfaatkan untuk ikut serta dalam kampanye. Padahal jelas tercantum dalam UU Perlindungan Anak bahwa tiap anak berhak untuk mendapat perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Kemana KPAI ketika kampanye berlangsung dan hak perlindungan anak disimpangi? Perlu banyak perbaikan disini. Tidak hanya perbaikan kinerja KPAI sebagai komisi negara saja tapi juga perbaikan terhadap pelaksanaan nyata atas UU Perlindungan Anak sehingga menimbulkan dampak positif terhadap perkembangan anak-anak di Indonesia . Anak merupakan generasi penerus, maka diperlukan langkah yang pasti dalam menciptakan sumber daya manusia yang tangguh, berkualitas dan mampu bersaing dalam memajukan negeri ini. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar