Senin, 23 Maret 2009

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG CALON INDEPENDEN

Panggung pemilu legislatif dan presiden akan segera digelar. Jika pemilu legislatif diramaikan dengan munculnya partai-partai baru, begitu pula pemilu presiden. Begitu banyak nama muncul, baik yang maju dengan mangusung nama partai politik namun beberapa nama cukup percaya diri dengan tidak mencantumkan namanya sebagai calon presiden partai politik tertentu, yang biasa disebut dengan calon independen.

Para calon independen yang berniat masuk ke dalam bursa calon presiden 2009-2014 merasa gerah dengan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian beberapa calon independen seperti Fajroel Rahman, Mariana Amiruddin dan Bob Febrian berinisiatif untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mereka berpendapat beberapa pasal dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi karena diarasa membatasi hak setiap warga negara untuk menjadi calon presiden.

Pasal-pasal yang mereka kritisi antara lain Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) dan (3), dan Pasal 28 I ayat (2) jo Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Pasal 1 ayat (4) dan pasal 8 mengatakan bahwa pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden haruslah pasangan yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta Pemilu. Pasal tersebut tentu saja mematikan harapan para calon independen untuk menjadi (paling tidak) calon Presiden. Kemudian pasal 9 dan pasal 13 ayat (1) juga secara implisit tidak memungkinknan adanya calon independen.

Namun pada akhirnya upaya mereka untuk menjadi calon independen mengalami jalan buntu. MK menolak judicial review tersebut untuk seluruhnya karena pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dianggap tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 9 undang-undang tersebut bersifat legal policy atau kebijakan hukum yang terbuka guna menciptakan sistem multipartai yang lebih sederhana. Dasar lainnya adalah pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Hal ini diperkuat dengan adanya pembatasan suara 20 % kursi di DPR dan 25 % suara yang sah Nasional dalam Pemilu Legislatif.

Beberapa pakar juga mengemukakan bahwa dalam pemerintahan yang menggunakan sistem Presidensiil akan lebih efektif jika eksekutif mendapat dukungan dari mayoritas legislatif. Dilihat dari kewenangan presiden dalam hal merancang UU, RAPBN, menyatakan perang, pemberian grasi dan lain sebagainya, terlihat jelas bahwa banyak perbuatan eksekutif yang harus mendapatkan persetujuan dari legislatif (DPR). Kemudian, jika menilik sejarah pencopotan posisi Gus Dur sebagai presiden oleh parlemen. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa kedudukan eksekutif dan legislatif adalah sejajar. Dengan adanya keterwakilan anggota-anggota partai politik di kursi parlemen, maka presiden dapat lebih mudah meraih dukungan parlemen, karena sama-sama memiliki kepentingan. Tapi mungkin lain hal jika presiden berasal dari perorangan dan bukan anggota partai politik yang mempunyai kursi di DPR.

Proses pengambilan keputusan oleh Mahkamah Konstitusi yang substansinya menolak adanya calon independen diwarnai dengan dissenting opinion dari 3 hakim anggota. Mereka adalah Akil Mochtar, Mukti Fajar, dan Maruarar Siahaan. Akil Mochtar menyatakan bahwa munculnya keinginan beberapa pihak tertentu untuk mecalonkan diri sebagai presiden melalui jalur independen disebabkan adanya kenyataan di lapangan bahwa kultur independen sebenarnya sudah lama ada dalam proses politik Indonesia. Sebagai contoh, pemilu Presiden melalui sidang Istimewa DPR tahun 2001 lalu, yang mengangkat Gus Dur sebagai presiden dan Megawati sebagai wapres.

Berbeda halnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai calon independen dalam pilkada. Mahkamah Konstitusi menganggap pembatasan calon independen di luar dukungan partai politik merupakan dualisme pelaksanaan pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang tidak mengatur secara rinci pengisisan jabatan kepala daerah. Hal ini dapat menimbulkan diskriminasi terkait hak warga negara yang tertuang dalam pasal 28 D ayat (1) dan (3). Acuan lain yang dipakai Mahakamah Konstitusi adalah Pemerintahan Aceh yang memberikan peluang bagi calon independen. Meskipun terdengar ganjil karena kondisi masing-masing daerah berbeda namun Mahkamah Konstitusi bersikeras bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah tidak boleh membuat pembatasan yang tidak tercantum dalam konstitusi.

Munculnya fenomena calon independen tidak lepas dari kekecewaan rakyat terhadap calon-calon dari partai poitikl yang selama ini dinilai tidak cukup mampu menyampaikan aspirasi rakyat namun justru lebih mementingkan terpenuhinya aspirasi partai politik mereka masing-masing. Yang terjadi kemudian, kader-kader yang telah menjabat nantinya tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Mau tidak mau, mereka harus mendengarkan usulan partai politiknya meski terkesan mengendalikan dari balik layar demi kepentingan parpol tersebut. Sebaliknya jika calon independen diluluskan, tak terbayangkan berapa banyak warganegara Indonesia yang merasa mampu akan mendaftarkan diri sebagai calon presiden.

Bagaimanapun juga Mahkamah Konstitusi wajib menjaga wewenang yang diberikan UUD 1945 amandemen ketiga tahun 2001 Pasal 24 C ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 24/2003 yaitu kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya tersebut bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD serta memutus pembubaran parpol dan perselisihan tentang hasil pemilu. Di samping itu sistem pengambilan keputusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan suara terbanyak sesuai pasal 45 UU No. 24/2003 sehingga dissenting opinion meski disebutkan dalam putusan, tidak dapat mengubah putusan tersebut.

Dengan ditolaknya judicial review para (mantan) calon independen maka semakin menutup kemungkiann bagi warga negara yang tidak tergabung dalam sebuah partai politik untuk mencalonkan dri sebagai presiden dan wakil presiden. Segala keputusan tentu saja memiliki banyak pertimbangan namun semoga suatu saat akan ada kebijakan yang benar-benar dapat mengakomodasi secara mutlak hak-hak konstitusional setiap warga negara termasuk untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar