Senin, 23 Maret 2009

DPR, (seharusnya) Sebuah Pengabdian yang Berintegritas

Selama 10 tahun pasca reformasi berjalan, banyak hal-hal yang berkaitan dengan ketatanegaraan mengalami perubahan dan perkembangan. Begitu pula dengan DPR yang ada di Indonesia. Sejak 1999, rakyat memilih sendiri secara langsung wakil-wakilnya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang dilakukan para anggota DPR yang telah dipilih langsung ini sering kali mengecewakan konstituennya. Mulai dari regulasi yang dihasilkan hingga kasus korupsi dan skandal pribadi membuat kita ragu apakah para anggota dewan yang terhormat benar-benar telah mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat?

Menyoroti kinerja DPR di bidang legislasi, sudah tidak asing lagi di telinga kita sederet UU yang kontroversial. Misalnya UU Pornografi, UU BHP, UU PMA, UU MA, UU Minerba, dll. Selama ini pula DPR menilai kinerja mereka sendiri berdasarkan jumlah UU yang berhasil deselesaikan berdasarkan target prolegnas. Di akhir tahun 2008, DPR melaporkan sebanyak 155 undang-undang telah berhasil dibuat dari target 284 undang-undang yang masuk dalam prolegnas 2004-2009, 92 diantaranya terdiri dari 60 UU pemekaran Wilayah, 15 UU pengesahan Konvensi Internasional, 11 UU terkait APBN dan 6 UU pengesahan Perpu. Artinya sekitar 60% UU yang dihasilkan adalah UU yang tidak memerlukan pembahasan yang mendalam.

Di sinilah kita melihat pergeseran kepentingan yang diwakili, terutamanya oleh DPR. Tidak sedikit apa yang diputuskan oleh DPR melenceng dari apa yang dikehendaki rakyat atau bahkan tidak menghiraukan masa depan rakyat. Misalnya dalam pembentukan undang-undang, DPR dalam melaksanakan tiap tahapan harus memperhatikan suara rakyat baik pro maupun kontra. Ini juga terkait dengan prinsip kebebasan berpendapat sesuai nilai demokrasi. Prinsip demokrasi juga harus dijalankan sesuai nilai-nilai asli Indonesia, dimana musyawarah untuk mufakat adalah hal yang pertama kali harus dilakukan. Apapun suara rakyat harus didengar kemudian dicari jalan tengahnya sehingga ada win win solution yang diterima seluruh lapisan masyarakat. Idealnya, masa sosialisasi tidak hanya dilakukan sesudah RUU disahkan menjadi UU, tapi pada saat pembahasan RUU. Tidak hanya rapat dengar pendapat umum atau uji publik di daerah, DPR harus meyebarluaskan RUU tersebut dengan akses yang mudah. Sekarang ini, situs DPR saja tidak lebih up to date daripadi salah satu situs penyedia peraturan perundang-undangan. Lantas bagaimana bisa rakyat bisa mengetahui apakan RUU tersebut untuk kepentingan rakyat atau bukan? Sedangkan DPR sendiri mencantumkan prinsip keterbukaan pembentukan peraturan perundang undangan dalam UU no 10/2004. Secara logika, aneh jika DPR yang hanya sebagai “wakil rakyat” menyetujui sedangkan rakyat sebagai pihak yang mempunyai kekuasaan asli tidak menyetujuinya. Inilah yang terjadi pada UU Pornografi, UU MA, UU Minerba, UU PMA, UU BHP, dll. Keadaan yang terjadi tampaknya tidak seideal hakikat yang seharusnya diwujudkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang eksistensinya untuk mewakili suara rakyat.

Sesuai hakikat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, representasi dari rakyat, dan menyuarakan kepentingan rakyat. Para anggota DPR harus mampu melepaskan ”baju partai mereka” karena ketika para legislator terpilih dan duduk di Senayan, mereka bukan lagi orang partai tetapi wakil rakyat. Dalam DPR ada pengelompokan politik yaitu fraksi yang menjadi suatu sistem dalam pengambilan keputusan di DPR. Misalnya dalam proses legislasi saat pembahasan tingkat II Sidang Paripurna diagendakan pernyataan pemandangan umum fraksi sebelum UU disahkan. Pendapat fraksi inilah yang dihitung dalam pengambilan keputusan. Sistem ini disebut blocking vote. Karena itulah, suara individu tidak berarti apa-apa karena tidak mengubah keputusan fraksi (Nyoman Tisnawati dan Gde Sumarjaya Linggih, anggota Fraksi Golkar yang menolak UU Pornografi). Pengelompokan politik menjadi fraksi ini memang lazim di berbagai parlemen. Namun yang menjadi masalah di DPR RI adalah, fraksi diambil dan diformalkan dalam Tatib DPR untuk mengambil keputusan. Akibatnya kepentingan yang disuarakan lagi-lagi adalah kepentingan partai politik. Idealnya sistem blocking vote tidak dipakai dalam mengambil keputusan. Sehingga proses demokrasi dalam pemilu langsung tidak dinafikan begitu saja dalam praktek demokrasi di DPR. Contoh yang baik dapat diambil dari anggota parlemen Jerman, dimana para anggota parlemen pada siang hari tetap menjalankan pekerjaan utama mereka sedangkan pekerjaan sebagai anggota parlemen adalah pekerjaan sosial pada saat malam. Mereka sering disebut politisi malam. Mereka dapat bekerja tanpa mementingkan kepentingan pribadi karena yang tertanam dalam benak mereka menjadi anggota parlemen adalah melakukan pekerjaan sosial. Berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia, ketika untuk mendapatkan kursi di Senayan harus menguras keuangan prbadi dan keluarga, maka pada saat melakukan pekerjaan sebagai anggota dewan, hal yang dipikirkan adalah bagaimana mengembalikan modal awal. Sederet kasus korupsi terlalu panjang untuk diuraikan. Kasus terhangat adalah ditangkapnya anggota fraksi PAN sekaligus caleg pemilu 2009, Abdul Hadi Jamal, 4 Maret 2009. Tak luput dari ingatan pula kasus skandal seks Yahya Zaini dan Max Moein. Memang tidak semua anggota Dewan demikian buruknya. Disinilah pentingnya moral dan akhlak seorang anggota dewan sebagai individu yang mengisi jabatan publik. Dennis F. Thompson menyebutkan bahwa seorang legislator harus memiliki etika legislatif. Etika tersebut diantaranya adalah etika minimalis terkait larangan menerima suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan jabatan. Kemudian etika fungsionalis terkait kedudukan anggota dewan sebagai legislator maupun anggota partai politik atau lainnya. Etika fungsionalis mengharuskan anggota dewan memilih salah satu dari sekian banyak peran yang ia miliki dan konsisten melakukan fungsinya. Yang ketiga adalah etika rasionalis dimana wakil rakyat mampu melandaskan etika legislatifnya pada prinsip-prinsip seperti keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan, kepentingan umum.

Sebagaimana pun juga, sistem dan orang yang ada di dalamnya harus berjalan bersama-sama dengan baik. Kekurangan dalam sistem dapat diperbaiki oleh orang di dalamnya dan sistem yang baik dapat mencegah dilakukannya perbuatan buruk okeh orang didalamnya yang dapat merusak sistem itu sendiri. Demikian pula DPR yang ideal didukung oleh sistem pemilu yang demokratis, proses-proses pengambilan keputusan dalam DPR, sistem fraksi yang tidak dominan dengan kepentingan politis, dan juga oleh masing-masing anggota Dewan yang selalu mengutamakan kepentingan rakyat, bermoral, dan berintegritas.

Daftar Pustaka

Setyowati, Erni et al. 2007. Bobot Kurang Janji Masih Terutang-Catatan tentang Kualitas Legislasi 2006. Jakarta. PSHK (Pusat Studi Hukum&Kebijakan Indonesia) Konrad Adenaeur Stiftung (KAS).

Sorensen, George. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta. Purtaka Pelajar dan CCSS (Center for Critical Social Studies)

Thompson, Dennis.F. 2002. Etika Politik Pejabat Negara. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Siaran Pers PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia) tentang Catatan Akhir Tahun 2008 Mengenai Kinerja Legislasi DPR RI. 31 Desember 2008. www.parlemen.net diakses tanggal 8 Maret 2009

1 komentar:

  1. Mantap-mantap, tapi ini tulisan siapa ya? dicantumkan dong penulisnya. Salut deh sama anak-anak mahkamah sekarang. sukses selalu dan semoga selalu menjadi yang terdepan. Tabki...

    BalasHapus