Rabu, 25 Maret 2009

MENCARI PERUNTUNGAN DI BALIK POPULARITAS

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan pada akhir Desember 2008 yang membatalkan pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang mengubah sistem penetapan calon anggota DPR/DPRD dari sistem nomor urut bersyarat menjadi sistem proporsional terbuka (suara terbanyak) menyebabkan tidak ada lagi caleg-caleg yang diistimewakan dalam suatu partai politik (parpol) baik pada nomor urutan atas maupun urutan bawah, kesempatan yang sama diberikan untuk para caleg dalam persaingan politik. Hal ini terkesan merugikan bagi caleg-caleg yang berada dalam parpol di nomor urutan yang teratas tapi tidak menonjol di kalangan masyarakat pada umumnya. Tapi hal ini justru sangat menguntungkan bagi caleg-caleg yang memang tidak berada di dalam parpol yang bukan pada nomor urutan teratas. Karena dengan begitu, caleg-caleg tersebut harus semakin mengutamakan usaha yang lebih giat dalam kampanye untuk menarik masyarakat agar mau menyumbangkan suara mereka. Namun, penerapan sistem suara terbanyak ini juga menimbulkan persaingan politik antar caleg beda partai yang cukup ketat bahkan persaingan antar caleg di dalam partai politiknya sendiri. Karena di dalam satu partai politik, tidak hanya ada satu orang yang maju menjadi caleg. Sehingga akan memungkinkan terjadinya persaingan tidak hanya pada pileg ini saja, tetapi juga akan berpengaruh pada solidaritas internal parpol tersebut. Di satu sisi, putusan MK ini memang menguntungkan beberapa pihak yang semula menggunakan pertimbangan memilih parpol menjadi lebih kepada sosok (figur) caleg itu sendiri, tapi di sisi lain menimbulkan banyak masalah baik bagi partai politik yang akhirnya dinilai masih banyak yang belum mandiri dalam menunjuk caleg sebagai penyambung aspirasi rakyat maupun caleg-caleg yang bersaing memperebutkan kursi di lembaga legislatif terutama caleg-caleg yang tidak dikenal masyarakat.

Berkaitan dengan hasil putusan MK tersebut, caleg-caleg mulai berlomba-lomba dengan mendongkrak popularitas mereka untuk meraup dukungan suara sebanyak-banyaknya. Hal yang dilakukan caleg-caleg seperti ini dapat berdampak positif bagi masyarakat yaitu selain diharapkan mereka lebih familiar dengan kondisi masyarakat yang sebenarnya, juga dapat meminimalisir golput. Karena hampir seluruh bagian masyarakat tidak luput dari sasaran kampanye para caleg. Selain turun ke bawah, kampanye yang dilalukan secara besar-besaran pun dilakukan dengan cara pemasangan poster, spanduk, baliho di beberapa tempat umum bahkan wilayah perkampungan yang jarang penduduknya sekalipun dengan harapan masyarakat bisa mengenal mereka. Walaupun upaya yang dilakukan oleh para caleg ini cukup menarik perhatian masyarakat, namun masih banyak pula masyarakat yang mencibir upaya para caleg yang demikian.

Salah satunya seperti yang diungkap oleh pengamat politik LIPI, Herman Sulistyo, bahwa perilaku politisi menjelang pileg mulai menunjukkan sifat narsistiknya, baik yang senior maupun yang junior, hanya mementingkan bagaimana menonjolkan dirinya sendiri. Padahal berdasarkan survei, hampir di atas 80 persen masyarakat tidak mengetahui siapa saja nama-nama caleg. Seolah-olah baliho dan spanduk yang dibuat itu hanya untuk dinikmati oleh caleg itu sendiri.

Kemudian kondisi ini dimanfaatkan oleh parpol-parpol yang telah mempersiapkan anggota-anggotanya yang siap maju menjadi caleg. Salah satunya dengan ‘menyodori’ artis. Mendulang kesuksesan artis-artis yang mampu menduduki posisi nomor dua di wilayah masing-masing yaitu Rano Karno sebagai Wakil Bupati Tangerang dan Dede Yusuf yang sekarang menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat. Tidak hanya itu, Adjie MAssaid, H. Qomar, Angelina Sondakh juga telah berhasil duduk di kursi lembaga legislatif. Di pileg 2009 ini, semakin banyak artis yang diusung oleh partai politik menjadi caleg. Salah satunya PAN yang mengajak Wulan Guritno, Marini Zumarnis, Derry Drajat, dan Iyet Bustami. BEgitu pula dengan PDS (Partai Damai Sejahtera) yang menggaet Maya Rumantir, Bella Saphira, dan Tessa Kaunang. Akhirnya, para caleg artis ini pun siap bertarung dengan artis-artis lainnya. Cukup dengan modal kepopularan mereka di dunia hiburan sudah menjadi nilai lebih bagi para caleg artis untuk meraih dukungan suara. Politik kita instan. Ingin cepat mendapatkan dukungan suara dengan memasang artis yang dikenal masyarakat. Harusnya ada kesadaran di kalangan artis bisa mengukur diri sendiri. Kalau tidak mampu, ya jangan,” ujar pengamat politik LIPI, Romli, kepada Gold News (Kamis, 17/7/2008). Seperti yang dilakukan oleh PDIP, tidak hanya sekedar memasang figur artis sebagai caleg, tetapi figur itu pun haruslah berkualitas dan memang pantas menjadi wakil rakyat, contohnya dengan memasang Rieke Diah Pitaloka, Sonny Tulung, dan Miing. Sama halnya dengan Golkar yang telah mempersiapkan Nurul Arifin, Tantowi Yahya, dan Jeremy Thomas, dengan mantap sebagai caleg. Namun, tidak bisa dipungkiri juga jika keberadaan artis dalam parpol hanya sebagai magnet suara bagi parpol yang bersangkutan.

Tidak hanya caleg artis, para pejabat negara dan petinggi parpol pun siap mengusung keluarga mereka untuk menjajal peruntungannya sebagai anggota DPR. Sebut saja anak Megawati, Puan Maharani, di PDIP. Selain itu juga, anak-anak politisi lainnya tidak mau ketinggalan mengajak anak-anaknya untuk menjadi caleg. Satu lagi anak Presiden SBY, Edhie Baskoro, maju menjadi caleg DPR untuk Partai Demokrat. Hal ini sebenarnya bagus untuk masa depan Indonesia. Dengan adanya caleg-caleg muda yang diharapkan mempunyai kualitas dan integritas tinggi serta mampu menampung seluruh aspirasi masyarakat. Karena kebanyakan caleg muda memiliki pemikiran yang sangat beda dengan caleg-caleg senior bahkan pejabat-pejabat negara. Tetapi, kemampuan caleg muda pun masih dipertanyakan. Hal tersebut diungkapkan oleh Suko Widodo yang meragukan kualitas caleg muda dengan alasan minimnya pengalaman berpolitik dalam lingkup yang luas karena kebanyakan latar belakang caleg muda hanya seputar poltik dalam organisasi kampus, organisasi masyarakat, dan LSM. Sebenarnya banyak harapan masyarakat terhadap caleg muda, mengingat masyarakat pupus harapan kepada politisi senior yang akhirnya banyak membawa negara ini kepada keterpurukan.

Bisa saja para artis berperan menjadi wakil rakyat dan menjadikan lembaga legislatif sebagai panggung sandiwara. Toh, selama ini anggota legislatif juga banyak yang bersandiwara memerankan tokohnya menjadi wakil rakyat dengan sempurna. Padahal yang mereka lakukan sesungguhnya hanya memanfaatkan hak-hak konstitusional anggota legislatif demi keuntungan pribadi. Kita bisa bercermin dari anggota-anggota DPR pada periode 2004-2009. Mereka mengalami degradasi moral dan integritas sejak menjabat menjadi anggota legislatif. Salah satunya yang terkenal adalah Abdul Hadi Jamal yang banyak menerima dana yang diduga sebagai penyaluran aspirasi untuk mendapatkan proyek dermaga dan bandara di wilayah Indonesia Timur. Bahkan anggota DPR pun sudah banyak yang tidak jujur.

Tidak masalah, jika para parpol dapat menjamin kemurnian caleg dan parpolnya. Seperti kontrak antara KPK dan seluruh parpol yang telah ditandatangani untuk tidak akan melakukan tindak korupsi. Secara tidak langsung, parpol-parpol setuju tidak akan berlaku demikian. Namun, jika kita cermati lebih jauh lagi, banyak terjadi money politics dalam kampanye para caleg. Salah satunya dari segi pelaporan dana kmapanye yang disinyalir berbeda antara pengeluaran parpol dengan yang dilaporkan.

Selain itu, bisa kita lihat juga dari model kampanye yang selama ini telah berjalan, yaitu pembagian uang tunai, sembako, atau bantuan sosial lainnya. Modus politk uang juga tidak hanya itu, bahkan sejak adanya Pemilu 1994 dan 2004, yaitu dengan pemasangan bendera mendapat imbalan uang, memberikan barang dan sembako, membagi-bagikan uang pada saat kampanye dan menjelang pemungutan suara. Bagi masyarakat, terutama yang menengah ke bawah, menanggapi dengan positif. Masyarakat justru bersuka cita menerima kenikamtan yang diberikan oleh para caleg. Bahkan mereka sudah jenuh dan enggan peduli dengan harapan terpilihnya si caleg tersebut. "Kalau mau kasih uang, bangun jalan, silakan saja. Kami senang. Tapi, ya jangan paksa untuk milih lah," kata Purwanto, seorang warga Petamburan, Jakarta Pusat.

Hal ini juga merupakan salah satu dampak dari putusan MK yang meningkatkan persaingan politik yang justru akhirnya mendorong caleg-caleg untuk melakukan tindakan politik uang. Beberapa kader parpol di Bandung pun mengaku sudah menyiapkan dana ratusan juta untuk mengadakan kampanye pileg 2009. Pada akhirnya, ketika sudah terpilih dan mendapat kursi di lembaga legislatif, para caleg sangat dimungkinkan melakukan budaya korupsi demi mencari uang sebanyak-banyaknya sebagai ganti rugi biaya politik yang dihabiskan selama pemilihan berlangsung. Bahkan tidak bisa dipungkiri jika terjadi korupsi secara bersamaan.

Negara kita ini hanya memebutuhkan bukti dan kerja nyata dari para anggota legislatif nantinya. Bukan hnya sekedar harapan-harapan belaka. Tidak peduli siapa, entah anak pejabat, artis, atau bahkan pejabat itu sendiri yang terpilih kembali, dan bagaimana cara memimpin negara Indonesia. Harapan masyarakat hanyalah adanya perubahan rakyat Indonesia agar lebih baik lagi. Rakyat sudah bosan dengan kekuasaan, kedudukan tinggi, permainan uang, apapun yang hanya menguntungkan pribadi petinggi-petinggi negara, dan masyrakat yang harus menanggung semua beban atas tindakan petinggi negara yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, masyarakat juga diharapkan tidak hanya memilih caleg secara pragmatis saja, tetapi benar-benar memilih berdasarkan kualitas caleg itu sendiri, demi masa depan Indonesia.


Koordiantor : Marina Herwita Haris

Anggota : Galuh, Linda, Nuri, Dini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar