Rabu, 25 Maret 2009

MAHASISWA SEBAGAI GERAKAN MORAL

Mahasiswa merupakan elemen terpenting dari sebuah negara. Mahasiswa yang mengawal jalannya pemerintahan dalam sebuah negara. Mahasiswa merupakan kekuatan ekstra parlementer yang vital. Peran mahasiswa yang sangat penting ini sangat jelas dalam konteks sejarah nasional Indonesia.

Berbicara tentang Indonesia. Perjalanan panjang negeri ini ditentukan oleh dinamika pergerakan mahasiswa. Kita semua tahu, Indonesia merdeka bukan karena kekuatan tempurnya. Bukan karena hebatnya taktik perang gerilya. Tapi karena peranan mahasiswa. Sebelum pendidikan menyentuh lapisan masyarakat Indonesia, perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan hanya didasarkan pada aspek kewilayahan. Setiap daerah berperang sendiri.. Tidak ada nasionalisme. Perjuangan secara parsial ini tidak dapat membebaskan Indonesia dari penjajahan.

Perjuangan indonesia dalam mencapai kemerdekaan bermula dari kaum terdidik (baca; mahasiswa). Sumpah Pemuda yang dideklarasikan oleh para pemuda menjadi bukti yang tidak terbantahkan. Nasionalisme mulai muncul.

Pada fase kedua, peran mahasiswa semakin vital. Proklamasi kemerdekaan dapat dikatakan salah satu contohnya. Penculikan terhadap Soekarno-Hatta, yang dikenal dengan sebutan Peristiwa Rengasdengklok, menjadi bukti. Kembali sejarah mencatat eksistensi mahasiswa Indonesia. Munculnya angkatan ‘45

Fase ketiga (angkatan ’66), kembali memunculkan peranan mahasiswa dalam pentas politik Indonesia. Pengkhianatan Soekarno terhadap Pancasila menjadi pemicu. Partai Komunisme Indonesia (PKI) bisa menjadi partai terbesar di Indonesia saat itu. Tetapi mahasiswa lah yang menentukan. Kita tentu mengenal Soe Hoek Gie dan Ahmad Wahib. Dua sosok pemikir yang melampaui zamannya. Aktor intelektual dibalik tumbangnya rezim orde lama. Lambang supremasi demokrasi terpimpin.

Munculnya rezim orde baru yang menggunakan Pancasila sebagai tameng untuk melegitimasi suatu sistem pemerintahan yang diktator, kembali membangkitkan ‘amarah’ mahasiswa. Peristiwa ’98 menjadi antiklimaks.

Pergerakan Mahasiswa=Gerakan Moral

Pergerakan Mahasiswa pada dasarnya adalah suatu gerakan moral yang benar-benar harus didasari pada semangat kebangsaan dan semangat keadilan yang harus tetap dijaga idealismenya berdasarkan pola pemikirannya sendiri bukan berdasarkan bujukan atau ideologi atas suatu partai tertentu. Hal ini didasarkan pada prinsip gerakan moral dalam pilar-pilar demokrasi..

Menurut Hariman Siregar sebagai gerakan moral, gerakan mahasiswa tidak bicara ideologi. Tidak memakai cara-cara kekerasan. Gerakan moral mewakili perasaan, yakni perasaan orang banyak. Dengan begitu ia tidak punya kepentingan (politik), sekaligus ia menolak dimanfaatkan pihak luar yang mempunyai kepentingan politik. Sebagai gerakan moral, biasanya mahasiswa bicara tentang ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekuasaan yang korup, dan hal-hal yang bersikap umum. Gerakan moral adalah gerakan yang bersikap spontan "tanpa pemimpin" dan tidak mengenal hierarki.

.Isu-isu yang ditawarkan dalam gerakan ini biasanya mendapatkan dukungan yang luas masyarakat karena isu tersebut dapat menyatukan kepentingan masyarakat. Gerakan moral ini dapat pula disebut gerakan sosial yang selalu memperjuangkan penegakan HAM, pemberdayaan hukum, pemerintahan yang bersih, pemberantasan KKN, kesejahteraan kaum lemah, dan lain-lain.

Hal ini terbukti dari sejarah panjang pergerakan mahasiswa. Pada masa pra kemerdekaan, mahasiswa menjadi pelopor aksi yang didasari semangat nasionalisme. Munculnya Sumpah Pemuda. Rakyat Indonesia menginginkan kemerdekaan. Mahasiswa mengerti. Mahasiswa bergerak. Kemerdekaan terwujud dalam bentuk rezim orde lama. Perlu dicatat, walaupun ada pihak yang menyatakan aksi mahasiswa kala itu ditunggangi oleh kelompok pro kapitalisme dan imperialisme, tetapi aksi mahasiswa didasarkan hanya pada rasa patriotisme dan nasionalisme yang tinggi. Terlepas dari adanya ‘pesanan politik’, aksi mahasiswa muncul sebagai gerakan moral.

Penyimpangan terhadap implementasi Pancasila kembali memunculkan gerakan moral mahasiswa. Penggulingan rezim orde baru merupakan kristalisasi keinginan masyarakat Indonesia melalui gerakan mahasiswa. Siapa yang menjalankan roda pemerintahan bukan lagi menjadi tugas penting bagi mahasiswa. Ciri penting dari gerakan moral. Gerakan mahasiswa.

Mahasiswa Masa Kini

Memang setiap manusia mempunyai hak melakukan gerakan politik, begitu pula dengan mahasiswa. Memang pada dasarnya gerakan yang diusung mahasiswa tidak senantiasa identik dengan perjuangan politik, tetapi terkadang dapat juga menimbulkan implikasi politik, mengubah konstelasi politik dan dapat juga menumbangkan kekuasaan politik.

Gerakan politik ini sulit diterima masyarakat karena mereka mempunyai kepentingan politik kelompok tertentu, dan menempatkan diri sebagai pihak yang selalu benar dan tidak mau disalahkan. Jika seperti itu gerakan politik mahasiswa, ini cenderung tidak memiliki kekuatan memberikan sesuatu yang memang diperlukan rakyat banyak. Gerakan politik mahasiswa adalah gerakan yang dikendalikan kepentingan elite politik. Dengan begitu, gerakan ini adalah gerakan yang tidak independen, gerakan yang terkooptasi instrumen politik tertentu.

Sangat disayangkan jika mengatasnamakan mahasiswa untuk membuat opini mendukung program ini dan program itu. Independensi mahasiswa adalah sikap yang selalu mencari dan mencintai kebenaran. Independensi berarti memilih sesuatu yang dianggap benar dan dapat memberikan solusi untuk memperbaiki kondisi Indonesia yang sedang terpuruk ini.

Seharusnya mahasiswa tidak terjebak dikotomi nasionalis, islamis, dan militer karena pada dasarnya militer-islamis ikut berpartisipasi membangun bangsa ini dilandasi semangat nasionalis. Sebaliknya yang mengklaim diri berpaham nasionalis adalah orang-orang yang beragama yang memiliki hati nurani dan dapat membedakan antara yang baik dan buruk, dalam memperjuangkan bangsa ini mereka tidak lepas dari dukungan para ulama dan militer. Untuk itu opini yang dikeluarkan dengan anti-ini dan anti-itu adalah sebuah pengotakan yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Antara Fenomena Apatisme Mahasiswa dan Partai Masuk Kampus

Tidak perlu detail kita kilas kembali bagaimana ketika pembahasan RUU Pemilu, RUU Parpol dan RUU Pilpres. Secara umum dinilai bahwa infrastruktur Pemilu tersebut sarat dengan kompromi politik sehingga stigma yang muncul bahwa infrastruktur Pemilu tersebut tidak lebih hanya merupakan akal-akalan elit parpol yang kebetulan memperoleh suara yang mayor ketika Pemilu tahun 2004 kemarin.

Sebuah rekayasa besar agar pada Pemilu mendatang Parpol yang berkuasa sekarang bisa kembali meraih sukses seperti pada Pemilu sebelumnya. Pretensinya adalah bahwa Pemilu tidak lain hanya sebagai instrumen untuk mendapat legitimasi dan simpati baru dari rakyat, sehingga makna Pemilu 2009 bukan lagi sebagai alternatif pilihan bagi bangsa sebagai transisi yang menjadi mainstream demokrasi, tetapi Pemilu 2009 tidak lebih hanya sekedar proses “daur ulang politik”. Melihat fenomena tersebut, mahasiswa sebagai garda terdepan dalam mengusung agenda-agenda rakyat harus berani melakukan “kontrak politik”.

Selain itu adanya sikap apatisme terhadap pemilu juga ditunjukkan dengan berkembangnya hedonisme, dengan tatanan moral yang belum siap terhadap pemikiran yang terbuka, para mahasiswa saat ini terjebak dalam hingar-bingar dunia hedon dimana mereka lupa atau bahkan tidak tahu terhadap posisinya sebagai mahasiswa yang seharusnya menjadi pilar demokrasi. Mahasiswa harus memberikan pemikiran dan karyanya untuk mendidik masyarakat dalam berdemokrasi bukan dalam satu mainstream ideologi tertentu. Namun di sisi lain pula budaya hedonisme secara tidak langsung tersebar oleh kehidupan mahasiswa yang serba modern yang sudah secara angin putting beliung menggeser dan memindahkan nilai-nilai gerakan moral dan membuat luntur semangat perjuangan membela rakyat.

Aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa lebih banyak menyoroti tentang buruknya kinerja pemerintah dalam menjalankan pemerintahnya, karena aksi dipandang sebagai ajang penyaluran aspirasi para mahasiswa terhadap kinerja dari kalangan elit pemerintahan. Aksi tersebut dilakukan bukan bertujuan hanya mengungkap sisi negatif dari kalangan elite di pemerintahan saja, namun mahasiswa ingin agar kalangan elite pemerintahan sadar akan kewajiban mereka sebagai wakil raykat. Pada sisi yang lain, apabila fenomena penyaluran aspirasi mahasiswa tersebut dikaitkan dengan pemilu, maka keadaannya seperti dua sisi mata uang logam. Ada mahasiswa yang dengan senang hati datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan suaranya. Sebaliknya ada juga sebagian mahasiswa memilih bersikap apatis terhadap pemilu.

Di salah satu sisi, suatu golongan/kelompok tertentu sedang asyik-asyiknya mengkader mahasiswa untuk membangun Indonesia dalam ideologi partai tertentu. Pada dasarnya pola mereka berjuang merekrut kadernya adalah mendekati kampu-kampus karena kaum muda ini yang mampu menggerakan perjuangan dan pembangunan atas bangsa kita ini sehingga baerbagai politik praktis pun diterapkan salah satunya memasuki lingkungan akademis yang seharusnya bebas dari politik praktis.

Pada akhirnya, kekuatan mahasiswa yang sangat besar hendaknya jangan mudah dipolitisasi. Ditunggangi oleh suatu kepentingan tertentu. Mahasiswa kini cenderung pragmatis. Aksi mahasiswa sebagai gerakan moral semakin diragukan.

MENCARI PERUNTUNGAN DI BALIK POPULARITAS

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan pada akhir Desember 2008 yang membatalkan pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang mengubah sistem penetapan calon anggota DPR/DPRD dari sistem nomor urut bersyarat menjadi sistem proporsional terbuka (suara terbanyak) menyebabkan tidak ada lagi caleg-caleg yang diistimewakan dalam suatu partai politik (parpol) baik pada nomor urutan atas maupun urutan bawah, kesempatan yang sama diberikan untuk para caleg dalam persaingan politik. Hal ini terkesan merugikan bagi caleg-caleg yang berada dalam parpol di nomor urutan yang teratas tapi tidak menonjol di kalangan masyarakat pada umumnya. Tapi hal ini justru sangat menguntungkan bagi caleg-caleg yang memang tidak berada di dalam parpol yang bukan pada nomor urutan teratas. Karena dengan begitu, caleg-caleg tersebut harus semakin mengutamakan usaha yang lebih giat dalam kampanye untuk menarik masyarakat agar mau menyumbangkan suara mereka. Namun, penerapan sistem suara terbanyak ini juga menimbulkan persaingan politik antar caleg beda partai yang cukup ketat bahkan persaingan antar caleg di dalam partai politiknya sendiri. Karena di dalam satu partai politik, tidak hanya ada satu orang yang maju menjadi caleg. Sehingga akan memungkinkan terjadinya persaingan tidak hanya pada pileg ini saja, tetapi juga akan berpengaruh pada solidaritas internal parpol tersebut. Di satu sisi, putusan MK ini memang menguntungkan beberapa pihak yang semula menggunakan pertimbangan memilih parpol menjadi lebih kepada sosok (figur) caleg itu sendiri, tapi di sisi lain menimbulkan banyak masalah baik bagi partai politik yang akhirnya dinilai masih banyak yang belum mandiri dalam menunjuk caleg sebagai penyambung aspirasi rakyat maupun caleg-caleg yang bersaing memperebutkan kursi di lembaga legislatif terutama caleg-caleg yang tidak dikenal masyarakat.

Berkaitan dengan hasil putusan MK tersebut, caleg-caleg mulai berlomba-lomba dengan mendongkrak popularitas mereka untuk meraup dukungan suara sebanyak-banyaknya. Hal yang dilakukan caleg-caleg seperti ini dapat berdampak positif bagi masyarakat yaitu selain diharapkan mereka lebih familiar dengan kondisi masyarakat yang sebenarnya, juga dapat meminimalisir golput. Karena hampir seluruh bagian masyarakat tidak luput dari sasaran kampanye para caleg. Selain turun ke bawah, kampanye yang dilalukan secara besar-besaran pun dilakukan dengan cara pemasangan poster, spanduk, baliho di beberapa tempat umum bahkan wilayah perkampungan yang jarang penduduknya sekalipun dengan harapan masyarakat bisa mengenal mereka. Walaupun upaya yang dilakukan oleh para caleg ini cukup menarik perhatian masyarakat, namun masih banyak pula masyarakat yang mencibir upaya para caleg yang demikian.

Salah satunya seperti yang diungkap oleh pengamat politik LIPI, Herman Sulistyo, bahwa perilaku politisi menjelang pileg mulai menunjukkan sifat narsistiknya, baik yang senior maupun yang junior, hanya mementingkan bagaimana menonjolkan dirinya sendiri. Padahal berdasarkan survei, hampir di atas 80 persen masyarakat tidak mengetahui siapa saja nama-nama caleg. Seolah-olah baliho dan spanduk yang dibuat itu hanya untuk dinikmati oleh caleg itu sendiri.

Kemudian kondisi ini dimanfaatkan oleh parpol-parpol yang telah mempersiapkan anggota-anggotanya yang siap maju menjadi caleg. Salah satunya dengan ‘menyodori’ artis. Mendulang kesuksesan artis-artis yang mampu menduduki posisi nomor dua di wilayah masing-masing yaitu Rano Karno sebagai Wakil Bupati Tangerang dan Dede Yusuf yang sekarang menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat. Tidak hanya itu, Adjie MAssaid, H. Qomar, Angelina Sondakh juga telah berhasil duduk di kursi lembaga legislatif. Di pileg 2009 ini, semakin banyak artis yang diusung oleh partai politik menjadi caleg. Salah satunya PAN yang mengajak Wulan Guritno, Marini Zumarnis, Derry Drajat, dan Iyet Bustami. BEgitu pula dengan PDS (Partai Damai Sejahtera) yang menggaet Maya Rumantir, Bella Saphira, dan Tessa Kaunang. Akhirnya, para caleg artis ini pun siap bertarung dengan artis-artis lainnya. Cukup dengan modal kepopularan mereka di dunia hiburan sudah menjadi nilai lebih bagi para caleg artis untuk meraih dukungan suara. Politik kita instan. Ingin cepat mendapatkan dukungan suara dengan memasang artis yang dikenal masyarakat. Harusnya ada kesadaran di kalangan artis bisa mengukur diri sendiri. Kalau tidak mampu, ya jangan,” ujar pengamat politik LIPI, Romli, kepada Gold News (Kamis, 17/7/2008). Seperti yang dilakukan oleh PDIP, tidak hanya sekedar memasang figur artis sebagai caleg, tetapi figur itu pun haruslah berkualitas dan memang pantas menjadi wakil rakyat, contohnya dengan memasang Rieke Diah Pitaloka, Sonny Tulung, dan Miing. Sama halnya dengan Golkar yang telah mempersiapkan Nurul Arifin, Tantowi Yahya, dan Jeremy Thomas, dengan mantap sebagai caleg. Namun, tidak bisa dipungkiri juga jika keberadaan artis dalam parpol hanya sebagai magnet suara bagi parpol yang bersangkutan.

Tidak hanya caleg artis, para pejabat negara dan petinggi parpol pun siap mengusung keluarga mereka untuk menjajal peruntungannya sebagai anggota DPR. Sebut saja anak Megawati, Puan Maharani, di PDIP. Selain itu juga, anak-anak politisi lainnya tidak mau ketinggalan mengajak anak-anaknya untuk menjadi caleg. Satu lagi anak Presiden SBY, Edhie Baskoro, maju menjadi caleg DPR untuk Partai Demokrat. Hal ini sebenarnya bagus untuk masa depan Indonesia. Dengan adanya caleg-caleg muda yang diharapkan mempunyai kualitas dan integritas tinggi serta mampu menampung seluruh aspirasi masyarakat. Karena kebanyakan caleg muda memiliki pemikiran yang sangat beda dengan caleg-caleg senior bahkan pejabat-pejabat negara. Tetapi, kemampuan caleg muda pun masih dipertanyakan. Hal tersebut diungkapkan oleh Suko Widodo yang meragukan kualitas caleg muda dengan alasan minimnya pengalaman berpolitik dalam lingkup yang luas karena kebanyakan latar belakang caleg muda hanya seputar poltik dalam organisasi kampus, organisasi masyarakat, dan LSM. Sebenarnya banyak harapan masyarakat terhadap caleg muda, mengingat masyarakat pupus harapan kepada politisi senior yang akhirnya banyak membawa negara ini kepada keterpurukan.

Bisa saja para artis berperan menjadi wakil rakyat dan menjadikan lembaga legislatif sebagai panggung sandiwara. Toh, selama ini anggota legislatif juga banyak yang bersandiwara memerankan tokohnya menjadi wakil rakyat dengan sempurna. Padahal yang mereka lakukan sesungguhnya hanya memanfaatkan hak-hak konstitusional anggota legislatif demi keuntungan pribadi. Kita bisa bercermin dari anggota-anggota DPR pada periode 2004-2009. Mereka mengalami degradasi moral dan integritas sejak menjabat menjadi anggota legislatif. Salah satunya yang terkenal adalah Abdul Hadi Jamal yang banyak menerima dana yang diduga sebagai penyaluran aspirasi untuk mendapatkan proyek dermaga dan bandara di wilayah Indonesia Timur. Bahkan anggota DPR pun sudah banyak yang tidak jujur.

Tidak masalah, jika para parpol dapat menjamin kemurnian caleg dan parpolnya. Seperti kontrak antara KPK dan seluruh parpol yang telah ditandatangani untuk tidak akan melakukan tindak korupsi. Secara tidak langsung, parpol-parpol setuju tidak akan berlaku demikian. Namun, jika kita cermati lebih jauh lagi, banyak terjadi money politics dalam kampanye para caleg. Salah satunya dari segi pelaporan dana kmapanye yang disinyalir berbeda antara pengeluaran parpol dengan yang dilaporkan.

Selain itu, bisa kita lihat juga dari model kampanye yang selama ini telah berjalan, yaitu pembagian uang tunai, sembako, atau bantuan sosial lainnya. Modus politk uang juga tidak hanya itu, bahkan sejak adanya Pemilu 1994 dan 2004, yaitu dengan pemasangan bendera mendapat imbalan uang, memberikan barang dan sembako, membagi-bagikan uang pada saat kampanye dan menjelang pemungutan suara. Bagi masyarakat, terutama yang menengah ke bawah, menanggapi dengan positif. Masyarakat justru bersuka cita menerima kenikamtan yang diberikan oleh para caleg. Bahkan mereka sudah jenuh dan enggan peduli dengan harapan terpilihnya si caleg tersebut. "Kalau mau kasih uang, bangun jalan, silakan saja. Kami senang. Tapi, ya jangan paksa untuk milih lah," kata Purwanto, seorang warga Petamburan, Jakarta Pusat.

Hal ini juga merupakan salah satu dampak dari putusan MK yang meningkatkan persaingan politik yang justru akhirnya mendorong caleg-caleg untuk melakukan tindakan politik uang. Beberapa kader parpol di Bandung pun mengaku sudah menyiapkan dana ratusan juta untuk mengadakan kampanye pileg 2009. Pada akhirnya, ketika sudah terpilih dan mendapat kursi di lembaga legislatif, para caleg sangat dimungkinkan melakukan budaya korupsi demi mencari uang sebanyak-banyaknya sebagai ganti rugi biaya politik yang dihabiskan selama pemilihan berlangsung. Bahkan tidak bisa dipungkiri jika terjadi korupsi secara bersamaan.

Negara kita ini hanya memebutuhkan bukti dan kerja nyata dari para anggota legislatif nantinya. Bukan hnya sekedar harapan-harapan belaka. Tidak peduli siapa, entah anak pejabat, artis, atau bahkan pejabat itu sendiri yang terpilih kembali, dan bagaimana cara memimpin negara Indonesia. Harapan masyarakat hanyalah adanya perubahan rakyat Indonesia agar lebih baik lagi. Rakyat sudah bosan dengan kekuasaan, kedudukan tinggi, permainan uang, apapun yang hanya menguntungkan pribadi petinggi-petinggi negara, dan masyrakat yang harus menanggung semua beban atas tindakan petinggi negara yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, masyarakat juga diharapkan tidak hanya memilih caleg secara pragmatis saja, tetapi benar-benar memilih berdasarkan kualitas caleg itu sendiri, demi masa depan Indonesia.


Koordiantor : Marina Herwita Haris

Anggota : Galuh, Linda, Nuri, Dini

Sebuah Doa Renta Penarik Jeruji Tua

Jeruji tua itu berputar di jalan aspal yang panas membakar,

Ada guratan lelah dikerutan wajah renta pemilik jeruji tua.

Tetes demi tetes peluh adalah harapan untuk menyambung kehidupan,

Tetes demi tetes air mata lelah adalah harapan untuk menyambung impian,

Tetes demi tetes darah adalah harapan untuk menyambung harapan itu sendiri.

Jeruji tua itu berputar di jalan liku kehidupan tanpa pilihan,

Menantang terik panas matahari,

Menghadang derai air hujan,

Menyusuri kasar jalan kehidupan,

tanpa pilihan.

Tangan tua itu terus mengepal kuat memegang harapan didalam hidup tanpa pilihan,

Selalu berucap syukur walau dalam rasa lapar,

Selalu tertawa walau tertusuk oleh dingin malam,

Selalu terlelap walau hanya dengan mimpi hitam,

Beralun doa si Renta dalam harap…

“Ya Tuhan, berilah rasa syukur kepada para Raja yang menari di atas istana kuasa. Cukupkan mereka agar tak pernah lapar dan haus kekuasaan, selimutilah ia agar hati nya selalu hangat memegang amanat, teduhkanlah pandangannya agar jelas nurani nya membaca kepedihan rakyat, dan dekap lah jiwa nya sebagai jiwa yang kuat, yang tak goyah akan godaan dunia maksiat...”

Heninglah malam yang mendengar doa si Tua,

Memberi bening dalam semak duka,

Memancar emas dilangit nusa,

Dalam sebuah doa Renta penarik jeruji tua.


-Annisa Rahmah-


RESENSI

Judul : SELEBRITI MENDADAK POLITISI
Study atas pragmatisme kaum selebriti dri panggung hiburan menuju panggung politik
Penulis : Alfito Deanova
Penerbit : Arti Bumi Intaran
Jumlah halaman : ( xx + 205 ) halaman
Cetakan : Pertama, September 2008
Peresensi : Ahmad Romi Royadi



Reformasi 1998 melahirkan babak baru kehidupan berpolitik di negri ini. Masa dimana hancur sudah belenggu yang mengekang kebebasan berpolitik yang telah berlangsung kurang lebih 35 tahun. Semangat demokratisasi bergulir kencang menghendaki kebebasan dari setiap kelompok yang berkepentingan politik untuk mendirikan partai politik sebagai jalan saluran perjuangannya meraih kekuasaan. Dan kemudian kemajuan berikutnya adalah jaminan kebebasan individu untuk memilih siapa yang dikehendaki untuk maju mewakili dirinya.


Hal ini terwujud dalam Pemilu 2004, dimana setiap pemilih dapat memilih secara langsung sosok yang akan duduk di parlemen. Sebab inilah yang kemudian membuat komposisi para anggota parlemen lebih berwarna dan bertabur bintang, hal ini dikarenakan pertimbangan keterpilihan caleg tidak hanya alasan visi-misi atau idiologi partai namun juga figur caleg itu sendiri, disinilah peran caleg artis diposisikan.
Buku ini menangkat fenomena "migrasi" selebriti dari panggung hiburan ke panggung politik. Bagaimana artis memiliki latarbelakang untuk kemudian terjun dalamdunia politik praktis. Sebagian partai kemudian menggunakan peran budaya popular untuk menaklukkan segmentasi pemilih dalam suatu daerah dengan menghadirkan selebriti politik untuk menjadi personifikasi partai politik. Selebriti disini adalah mereka yang biasanya berasal dari industri, olahraga, dan hiburan yang dapat mudah ditemukan di media yang iut serta dalam pemilihan legislative 2004.


Dalam hasil penelitian didalamnya tidak ditelaah upaya partai untuk menciptakan bintan-bintang mereka sendiri namun justru jalan pintas yang mereka lakukan merekrut para selebriti asli yang diharap akan mampu menaklukkan para pemilih dalam payung konteks budaya pop.


Serlebriti menciptakan kondisi para-sosial di benak penggemar, yaitu hubungan antara selebriti dan penggemar dalam status yang abnormal, dan mengandung potensi benih-benih pengejaran secara obsesif menuju hubungan yang nyata, artinya adanya kondisi para-sosial pada penggemar ,membuat mereka berharap memiliki hubungan atau kontak hubungan dengan idola mereka. Kondisi ini memberi keuntungan bagi para caleg selebriti untuk melakukan pendekatan langsung dengan para penggemar yang menjadi pemilih potensialnya. Disini kemudian konsep budaya popular dapat di eksploitasi.
Fenomena caleg selebriti adalah sebuah titik pertemuan antara harapan dari partai politik dan kalangan selebriti. Motivasi utama partai adalah memanfaatkan polularitas mereka untuk kepentingan meraih suara. Sementara tawaran partai ditangkap dan dimanfaatkan untuk tujuan yang sifatnya beragam oleh selebriti.


Namun dalam kenyataan harapan caleg selebriti kemudian tidak sesuai dengan harapan ketika hanya terdapat 7 caleg yang akhirnya meraih kursi legislatif dari 38 selebriti yang mengajukan diri menjadi calon legislatif. Banyak factor yang melatar belakanginya diantaranya : perekrutan caleg selebriti biasanya dilakukan pada hari hari akhir sebelum penetapan caleg, kurang perencanaan khusunya dalam materi kampanye, system proporsinal yang berdasarkan nomer urut memberikan peluang berbeda bagi setiap caleg.
Buku ini layak dibaca oleh semua kalangan terutama yang concern akandunia politik karena memberikan penafsiran akan dinamika politk akhir-akhir ini, dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami dengan tidak meninggalkan sisi substansial demokrasi serta dilengkapi data-data yang valid.(..)

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Akankah Tanpa S1 Swadaya?

Kabar penutupan Program S1 Swadaya Universitas Gadjah Mada simpang siur terdengar, dan kabar ini pun kemudian menuai polemik baru di dalam Fakultas Hukum kita...

Ketersediaan lapangan pekerjaan hukum yang ‘notabene’ membutuhkan lulusan dengan gelar Sarjana Hukum menjadikan eksistensi Program D3 Hukum saat ini dapat dikatakan hampir tidak relevan. Ketidakrelevanan ini beriringan dengan penutupan S1 Swadaya oleh Rektorat yang mendapatkan penolakan dari mahasiwa, yang apabila benar terjadi, maka hal ini akan berpotensi ‘menyuramkan’ proses pengembangan keterampilan ‘calon para legal’ yang menempuh pendidikan Program D3 di Fakultas Hukum UGM.

Rencana penutupan Program S1 Swadaya dijawab dengan perencanaan mengenai ‘sekolah vokasi’ yang berjenjang pendidikan Diploma 4 dimana jenjang pendidikan ini tidak lagi bisa dijadikan batu loncatan menuju Program S1 UGM. Rencana ini sulit untuk dimengerti keberadaannya sebab diyakini atau tidak, daya tarik UGM (khususnya Fakultas Hukum-nya) yang paling besar adalah pada pendidikan S1-nya. Jika akses menuju ke arah itu ditutup, apa akankah tetap menarik program ini dalam pandangan para calon mahasiswa?

Sementara itu, ada pendapat yang beredar bahwa penutupan Program S1 Swadaya merupakan salah satu dari serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Rektorat untuk menunjukkan ‘jati diri’ UGM sebagai World Class University. Benarkah?

Ketika dijawab benar, maka akan menjadi ironis bila untuk satu tujuan terdapat kepentingan yang terabaikan, yaitu kepentingan mahasiswa D3 Hukum yang ‘sudah seharusnya’ diberi kesempatan oleh UGM untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi di universitas ‘asal nya’. Ketika dijawab tidak benar, tentu ada alasan lain yang seharusnya lebih bijak, dan jika memang harus terpaksa benar, diharapkan ada kebijakan yang tepat untuk para mahasiswa Program D3 yang akan terkena dampak sosial-psikologis dari rencana penutupan S1 Swadaya ini—dampak sosial bagi suasana pembelajarannya yang tidak se-harmonis sebelumnya dan dampak psikologis dalam semangat belajarnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, sejumlah mahasiswa D3 Hukum menuturkan kepada Mahkamah harapan terbesar mereka, semoga Program S1 Swadaya tetap diselenggarakan paling tidak hingga angkatan 2008 D3 Hukum selesai menempuh pendidikannya. Karena bagaimanapun juga, mahasiswa D3 Hukum menjadi adalah juga bagian dari keluarga besar civitas akademika Fakultas Hukum UGM yang memiliki hak untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

oleh : Westy Nanda Silitonga

Senin, 23 Maret 2009

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG CALON INDEPENDEN

Panggung pemilu legislatif dan presiden akan segera digelar. Jika pemilu legislatif diramaikan dengan munculnya partai-partai baru, begitu pula pemilu presiden. Begitu banyak nama muncul, baik yang maju dengan mangusung nama partai politik namun beberapa nama cukup percaya diri dengan tidak mencantumkan namanya sebagai calon presiden partai politik tertentu, yang biasa disebut dengan calon independen.

Para calon independen yang berniat masuk ke dalam bursa calon presiden 2009-2014 merasa gerah dengan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian beberapa calon independen seperti Fajroel Rahman, Mariana Amiruddin dan Bob Febrian berinisiatif untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mereka berpendapat beberapa pasal dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi karena diarasa membatasi hak setiap warga negara untuk menjadi calon presiden.

Pasal-pasal yang mereka kritisi antara lain Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) dan (3), dan Pasal 28 I ayat (2) jo Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Pasal 1 ayat (4) dan pasal 8 mengatakan bahwa pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden haruslah pasangan yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta Pemilu. Pasal tersebut tentu saja mematikan harapan para calon independen untuk menjadi (paling tidak) calon Presiden. Kemudian pasal 9 dan pasal 13 ayat (1) juga secara implisit tidak memungkinknan adanya calon independen.

Namun pada akhirnya upaya mereka untuk menjadi calon independen mengalami jalan buntu. MK menolak judicial review tersebut untuk seluruhnya karena pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dianggap tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 9 undang-undang tersebut bersifat legal policy atau kebijakan hukum yang terbuka guna menciptakan sistem multipartai yang lebih sederhana. Dasar lainnya adalah pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Hal ini diperkuat dengan adanya pembatasan suara 20 % kursi di DPR dan 25 % suara yang sah Nasional dalam Pemilu Legislatif.

Beberapa pakar juga mengemukakan bahwa dalam pemerintahan yang menggunakan sistem Presidensiil akan lebih efektif jika eksekutif mendapat dukungan dari mayoritas legislatif. Dilihat dari kewenangan presiden dalam hal merancang UU, RAPBN, menyatakan perang, pemberian grasi dan lain sebagainya, terlihat jelas bahwa banyak perbuatan eksekutif yang harus mendapatkan persetujuan dari legislatif (DPR). Kemudian, jika menilik sejarah pencopotan posisi Gus Dur sebagai presiden oleh parlemen. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa kedudukan eksekutif dan legislatif adalah sejajar. Dengan adanya keterwakilan anggota-anggota partai politik di kursi parlemen, maka presiden dapat lebih mudah meraih dukungan parlemen, karena sama-sama memiliki kepentingan. Tapi mungkin lain hal jika presiden berasal dari perorangan dan bukan anggota partai politik yang mempunyai kursi di DPR.

Proses pengambilan keputusan oleh Mahkamah Konstitusi yang substansinya menolak adanya calon independen diwarnai dengan dissenting opinion dari 3 hakim anggota. Mereka adalah Akil Mochtar, Mukti Fajar, dan Maruarar Siahaan. Akil Mochtar menyatakan bahwa munculnya keinginan beberapa pihak tertentu untuk mecalonkan diri sebagai presiden melalui jalur independen disebabkan adanya kenyataan di lapangan bahwa kultur independen sebenarnya sudah lama ada dalam proses politik Indonesia. Sebagai contoh, pemilu Presiden melalui sidang Istimewa DPR tahun 2001 lalu, yang mengangkat Gus Dur sebagai presiden dan Megawati sebagai wapres.

Berbeda halnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai calon independen dalam pilkada. Mahkamah Konstitusi menganggap pembatasan calon independen di luar dukungan partai politik merupakan dualisme pelaksanaan pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang tidak mengatur secara rinci pengisisan jabatan kepala daerah. Hal ini dapat menimbulkan diskriminasi terkait hak warga negara yang tertuang dalam pasal 28 D ayat (1) dan (3). Acuan lain yang dipakai Mahakamah Konstitusi adalah Pemerintahan Aceh yang memberikan peluang bagi calon independen. Meskipun terdengar ganjil karena kondisi masing-masing daerah berbeda namun Mahkamah Konstitusi bersikeras bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah tidak boleh membuat pembatasan yang tidak tercantum dalam konstitusi.

Munculnya fenomena calon independen tidak lepas dari kekecewaan rakyat terhadap calon-calon dari partai poitikl yang selama ini dinilai tidak cukup mampu menyampaikan aspirasi rakyat namun justru lebih mementingkan terpenuhinya aspirasi partai politik mereka masing-masing. Yang terjadi kemudian, kader-kader yang telah menjabat nantinya tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Mau tidak mau, mereka harus mendengarkan usulan partai politiknya meski terkesan mengendalikan dari balik layar demi kepentingan parpol tersebut. Sebaliknya jika calon independen diluluskan, tak terbayangkan berapa banyak warganegara Indonesia yang merasa mampu akan mendaftarkan diri sebagai calon presiden.

Bagaimanapun juga Mahkamah Konstitusi wajib menjaga wewenang yang diberikan UUD 1945 amandemen ketiga tahun 2001 Pasal 24 C ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 24/2003 yaitu kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya tersebut bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD serta memutus pembubaran parpol dan perselisihan tentang hasil pemilu. Di samping itu sistem pengambilan keputusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan suara terbanyak sesuai pasal 45 UU No. 24/2003 sehingga dissenting opinion meski disebutkan dalam putusan, tidak dapat mengubah putusan tersebut.

Dengan ditolaknya judicial review para (mantan) calon independen maka semakin menutup kemungkiann bagi warga negara yang tidak tergabung dalam sebuah partai politik untuk mencalonkan dri sebagai presiden dan wakil presiden. Segala keputusan tentu saja memiliki banyak pertimbangan namun semoga suatu saat akan ada kebijakan yang benar-benar dapat mengakomodasi secara mutlak hak-hak konstitusional setiap warga negara termasuk untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa.

DPR, (seharusnya) Sebuah Pengabdian yang Berintegritas

Selama 10 tahun pasca reformasi berjalan, banyak hal-hal yang berkaitan dengan ketatanegaraan mengalami perubahan dan perkembangan. Begitu pula dengan DPR yang ada di Indonesia. Sejak 1999, rakyat memilih sendiri secara langsung wakil-wakilnya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang dilakukan para anggota DPR yang telah dipilih langsung ini sering kali mengecewakan konstituennya. Mulai dari regulasi yang dihasilkan hingga kasus korupsi dan skandal pribadi membuat kita ragu apakah para anggota dewan yang terhormat benar-benar telah mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat?

Menyoroti kinerja DPR di bidang legislasi, sudah tidak asing lagi di telinga kita sederet UU yang kontroversial. Misalnya UU Pornografi, UU BHP, UU PMA, UU MA, UU Minerba, dll. Selama ini pula DPR menilai kinerja mereka sendiri berdasarkan jumlah UU yang berhasil deselesaikan berdasarkan target prolegnas. Di akhir tahun 2008, DPR melaporkan sebanyak 155 undang-undang telah berhasil dibuat dari target 284 undang-undang yang masuk dalam prolegnas 2004-2009, 92 diantaranya terdiri dari 60 UU pemekaran Wilayah, 15 UU pengesahan Konvensi Internasional, 11 UU terkait APBN dan 6 UU pengesahan Perpu. Artinya sekitar 60% UU yang dihasilkan adalah UU yang tidak memerlukan pembahasan yang mendalam.

Di sinilah kita melihat pergeseran kepentingan yang diwakili, terutamanya oleh DPR. Tidak sedikit apa yang diputuskan oleh DPR melenceng dari apa yang dikehendaki rakyat atau bahkan tidak menghiraukan masa depan rakyat. Misalnya dalam pembentukan undang-undang, DPR dalam melaksanakan tiap tahapan harus memperhatikan suara rakyat baik pro maupun kontra. Ini juga terkait dengan prinsip kebebasan berpendapat sesuai nilai demokrasi. Prinsip demokrasi juga harus dijalankan sesuai nilai-nilai asli Indonesia, dimana musyawarah untuk mufakat adalah hal yang pertama kali harus dilakukan. Apapun suara rakyat harus didengar kemudian dicari jalan tengahnya sehingga ada win win solution yang diterima seluruh lapisan masyarakat. Idealnya, masa sosialisasi tidak hanya dilakukan sesudah RUU disahkan menjadi UU, tapi pada saat pembahasan RUU. Tidak hanya rapat dengar pendapat umum atau uji publik di daerah, DPR harus meyebarluaskan RUU tersebut dengan akses yang mudah. Sekarang ini, situs DPR saja tidak lebih up to date daripadi salah satu situs penyedia peraturan perundang-undangan. Lantas bagaimana bisa rakyat bisa mengetahui apakan RUU tersebut untuk kepentingan rakyat atau bukan? Sedangkan DPR sendiri mencantumkan prinsip keterbukaan pembentukan peraturan perundang undangan dalam UU no 10/2004. Secara logika, aneh jika DPR yang hanya sebagai “wakil rakyat” menyetujui sedangkan rakyat sebagai pihak yang mempunyai kekuasaan asli tidak menyetujuinya. Inilah yang terjadi pada UU Pornografi, UU MA, UU Minerba, UU PMA, UU BHP, dll. Keadaan yang terjadi tampaknya tidak seideal hakikat yang seharusnya diwujudkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang eksistensinya untuk mewakili suara rakyat.

Sesuai hakikat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, representasi dari rakyat, dan menyuarakan kepentingan rakyat. Para anggota DPR harus mampu melepaskan ”baju partai mereka” karena ketika para legislator terpilih dan duduk di Senayan, mereka bukan lagi orang partai tetapi wakil rakyat. Dalam DPR ada pengelompokan politik yaitu fraksi yang menjadi suatu sistem dalam pengambilan keputusan di DPR. Misalnya dalam proses legislasi saat pembahasan tingkat II Sidang Paripurna diagendakan pernyataan pemandangan umum fraksi sebelum UU disahkan. Pendapat fraksi inilah yang dihitung dalam pengambilan keputusan. Sistem ini disebut blocking vote. Karena itulah, suara individu tidak berarti apa-apa karena tidak mengubah keputusan fraksi (Nyoman Tisnawati dan Gde Sumarjaya Linggih, anggota Fraksi Golkar yang menolak UU Pornografi). Pengelompokan politik menjadi fraksi ini memang lazim di berbagai parlemen. Namun yang menjadi masalah di DPR RI adalah, fraksi diambil dan diformalkan dalam Tatib DPR untuk mengambil keputusan. Akibatnya kepentingan yang disuarakan lagi-lagi adalah kepentingan partai politik. Idealnya sistem blocking vote tidak dipakai dalam mengambil keputusan. Sehingga proses demokrasi dalam pemilu langsung tidak dinafikan begitu saja dalam praktek demokrasi di DPR. Contoh yang baik dapat diambil dari anggota parlemen Jerman, dimana para anggota parlemen pada siang hari tetap menjalankan pekerjaan utama mereka sedangkan pekerjaan sebagai anggota parlemen adalah pekerjaan sosial pada saat malam. Mereka sering disebut politisi malam. Mereka dapat bekerja tanpa mementingkan kepentingan pribadi karena yang tertanam dalam benak mereka menjadi anggota parlemen adalah melakukan pekerjaan sosial. Berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia, ketika untuk mendapatkan kursi di Senayan harus menguras keuangan prbadi dan keluarga, maka pada saat melakukan pekerjaan sebagai anggota dewan, hal yang dipikirkan adalah bagaimana mengembalikan modal awal. Sederet kasus korupsi terlalu panjang untuk diuraikan. Kasus terhangat adalah ditangkapnya anggota fraksi PAN sekaligus caleg pemilu 2009, Abdul Hadi Jamal, 4 Maret 2009. Tak luput dari ingatan pula kasus skandal seks Yahya Zaini dan Max Moein. Memang tidak semua anggota Dewan demikian buruknya. Disinilah pentingnya moral dan akhlak seorang anggota dewan sebagai individu yang mengisi jabatan publik. Dennis F. Thompson menyebutkan bahwa seorang legislator harus memiliki etika legislatif. Etika tersebut diantaranya adalah etika minimalis terkait larangan menerima suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan jabatan. Kemudian etika fungsionalis terkait kedudukan anggota dewan sebagai legislator maupun anggota partai politik atau lainnya. Etika fungsionalis mengharuskan anggota dewan memilih salah satu dari sekian banyak peran yang ia miliki dan konsisten melakukan fungsinya. Yang ketiga adalah etika rasionalis dimana wakil rakyat mampu melandaskan etika legislatifnya pada prinsip-prinsip seperti keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan, kepentingan umum.

Sebagaimana pun juga, sistem dan orang yang ada di dalamnya harus berjalan bersama-sama dengan baik. Kekurangan dalam sistem dapat diperbaiki oleh orang di dalamnya dan sistem yang baik dapat mencegah dilakukannya perbuatan buruk okeh orang didalamnya yang dapat merusak sistem itu sendiri. Demikian pula DPR yang ideal didukung oleh sistem pemilu yang demokratis, proses-proses pengambilan keputusan dalam DPR, sistem fraksi yang tidak dominan dengan kepentingan politis, dan juga oleh masing-masing anggota Dewan yang selalu mengutamakan kepentingan rakyat, bermoral, dan berintegritas.

Daftar Pustaka

Setyowati, Erni et al. 2007. Bobot Kurang Janji Masih Terutang-Catatan tentang Kualitas Legislasi 2006. Jakarta. PSHK (Pusat Studi Hukum&Kebijakan Indonesia) Konrad Adenaeur Stiftung (KAS).

Sorensen, George. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta. Purtaka Pelajar dan CCSS (Center for Critical Social Studies)

Thompson, Dennis.F. 2002. Etika Politik Pejabat Negara. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Siaran Pers PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia) tentang Catatan Akhir Tahun 2008 Mengenai Kinerja Legislasi DPR RI. 31 Desember 2008. www.parlemen.net diakses tanggal 8 Maret 2009

DARI REDAKSI

“Krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara pemimpin yang dipercayai rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, parta-partai mengindahkan dasar-dasar moral dari dalam segala tindakannya” –Muhammad Hatta-

11 tahun sudah rakyat Indonesia bereformasi dan ’merasa’ bahwa demokrasi sesungguh nya telah hidup di pertiwi ini. Kata demokrasi seolah menjadi kunci pembuka rantai seluruh fikiran dan ide yang dulu terbungkam dan terkekang oleh rezim diktator. Ketika berbicara dan memngingat akan rezim yang suram itu maka tidak ada yang berhak untuk menyalahkan sejarah suatu bangsa, karena pada dasarnya sejarah itu sendiri adalah suatu hasil proses dialektika suatu bangsa. Bangsa yang bijak adalah bangsa yang mampu belajar dari sejarahnya, sehingga suatu harapan yang ideal ketika generasi yang lahir berikutnya mampu menjadi penerus yang cerdas dan lebih kuat.

Pemilihan Umum yang disandingkan sebagai pesta raya demokrasi tampak nya menjadi hal yang semakin tak terasa euforia nya di Indonesia. Kepercayaan masyarakat telah pudar namun (untung nya) belum hilang sepenuhnya, padahal kepercayaan rakyat adalah sumber kekuatan terbesar bagi seorang pemimpin bangsa. Eksistensi pemilu sebagai corong demokrasi pun dipertanyakan, karena selain ’bumbu kepercayaan’ yang kurang terasa, demokrasi yang telah berjalan selama ini pun dinilai setengah matang, maka dapat dikatakan bahwa pemilu tahun lalu terasa ’kurang pas’ dikecap oleh bangsa Indonesia.

Cukup untuk hanya menyalahkan. Mahasiswa harus bangkit. Kita adalah sekelompok orang yang (semoga) memiliki hati nurani dan otak untuk berfikir . Berfikir menemukan solusi, bukan berfikir untuk menyalahkan dan hanya sekedar menuntut.. Jika memang sesuatu itu salah, maka tunjukan apa yang benar. Jika memang kepercayaan—yang merupakan kekuatan dominan seorang pemimpin—dianggap kurang, maka tambahkanlah, dan jika demokrasi Indonesia dirasa setengah matang, maka matangkanlah. Dan lakukanlah dengan cara yang benar serta bermartabat..